Di suatu hari tanpa sengaja, ibuku melahirkan bayi perempuan. Kukira... tidak, kami kira ia lelaki. Namun tak apa, ini kejutan yang menyenangkan! Aku tidak sabar menjadi pelindungnya kelak.
Saat itu umurku 12 tahun. Aku sudah berharap dapat menjadi ksatria untuknya.
Di suatu malam tanpa sengaja, bayi itu menangis sejadi-jadinya. Aku tidak mengerti. Ayah dan ibu berusaha untuk menenangkannya. Aku mengunci diri di kamar, risi. Aku benar-benar kesal.
Kukira memilikinya akan menyenangkan.
Di suatu pagi tanpa sengaja, adikku membelah ponsel lipatku menjadi dua. Ayah dan ibuku menyalahkanku, mengatakan bahwa aku meletakkannya sembarang tempat.
Mana kutahu aku menaruhnya di mana, aku bergadang semalam suntuk untuk bermain dengan PSP-ku.
Saat itu umurku 15 tahun. Aku sudah menanam rasa benci kepadanya.
Di suatu sore tanpa sengaja, adikku terjatuh--dan luar biasanya, terluka. Ibu meneleponku, memintaku untuk pulang dari rumah temanku sesegera mungkin. Aku mengegas motor dengan sumpah serapah di bibir, menghindari titik-titik macet bahkan menaiki trotoar agar dapat mencapai rumah secepat mungkin.
Saat itu umurku 16 tahun. Ibuku selalu mengancam akan memotong uang sakuku tiap kali menolak permintaannya.
Di suatu siang tanpa sengaja, ayah melupakan secangkir kopinya di meja kantor. Ia pikir itu tidak mengapa. Namun sorenya ia tidak sadar ada truk gandeng melaju dengan kecepatan tinggi dari sisi kanannya ketika ia menyetir pulang ke rumah.
Di suatu tempat tanpa sengaja, ibuku menangis keras mengetahui berita itu. Saat itu ia menggandeng tangan adikku. Aku tidak tahu apa yang tepatnya adikku lihat, tetapi... sejak itu ia berubah.
Saat itu umurnya 4 tahun, dan ia tidak pernah bersuara lagi.
Di suatu hari tanpa sengaja, aku menatapnya dingin karena ia menggangguku ketika aku tengah memainkan turnamen besar di komputerku. Aku nyaris kehilangan uang sebesar jutaan, tetapi aku berhasil meraihnya setelah meneriaki anak itu.
Di suatu malam tanpa sengaja, aku melihatnya menatapku kesal dari balik pintu kamar ibuku.
Saat itu aku sadar ia mulai menghindariku.
Di suatu siang tanpa sengaja, aku memikirkan keluargaku. Bahwa ibuku sebatang kara, dan sudah terlalu tua untuk memarah-marahiku karena bergadang demi permainan. Bahwa beliau menyayangiku, tetapi tidak memiliki banyak tenaga untuk mencurahkan seluruh cintanya. Bahwa aku masih memiliki seorang adik perempuan, yang terkadang masih menangis jika ditinggal sendirian di kamar yang gelap.
Tangisan adikku tidak pernah bersuara, sangat berkebalikan dengan ibuku.
Saat itu umurku 18 tahun, dan adikku 6 tahun. Ia tidak pernah bicara, tetapi mengerti apa yang kami katakan. Ia tidak pernah bersuara, tetapi selalu ingin dipahami olehku... oleh kami.
Anak itu tergolong pendek, tubuhnya tidak terlalu berisi--sama sepertiku. Teman-temanku bahkan guruku selalu mengatakan bahwa aku kurang makan, terlalu banyak menggunakan waktu untuk bermain ponsel ataupun komputer. Namun aku sudah biasa mendengarnya, dan aku memakluminya karena memang benar itu yang kulakukan. Toh, hanya dengan bermain aku mendapatkan uang untuk keluargaku.
Di suatu sore tanpa sengaja, aku melihat adik perempuanku itu terjongkok di depan rumah. Aku yang baru saja kembali dari sekolah berusaha untuk berbicara dengannya, tetapi ia menolak. Ia terus berjongkok di sana. Karena aku tidak memiliki apa yang orang-orang sebut *kesabaran*, aku gendong tubuhnya masuk ke rumah, melemparnya pelan ke kasur.
Akhirnya aku dapat melihat wajahnya, benar-benar menatapnya lekat-lekat. Selama ini aku hanya memberikan tatapan sinis, dingin, bahkan mengintimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Silver Lining: NPC's 30 Days Writing Challange
Short StoryKarena kita tidak selalu memiliki harapan untuk melalui semua hal ini. Update setiap hari mulai tanggal 1 hingga 31 Agustus untuk mematahkan semangatmu dalam rangka event @NPC2301.