Karena kita tidak selalu memiliki harapan untuk melalui semua hal ini.
Update setiap hari mulai tanggal 1 hingga 31 Agustus untuk mematahkan semangatmu dalam rangka event @NPC2301.
Gadis berambut safir-keunguan itu mendadak duduk tegak dari kasurnya. Ia menoleh ke jendela kamarnya, matahari belum terbit.
Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Heran, sebenarnya. Bagaimana bisa ini terjadi? Semalam ia tidur telat sekali.
Jantingnya berdegup normal. Ia meraba tubuhnya, mulai dari ujung kaki hingga ujung rambutnya yang panjang.
Lagi, ia mengerjapkan mata beberapa kali, heran. Bahkan mata ungu gelapnya memberikan kesan bingung.
Perlahan ia beranjak dari sana, berdiri dan meregangkan tubuhnya. Rambutnya berjatuhan, menggantung di bawah bokongnya.
Ia merasa hari ini akan berlangsung biasa-biasa saja, seperti biasanya. Hal yang pertama kali ia dengar hanya suara notif dari ponselnya, tidak langsung ia cek.
Gadis itu menghampiri kamar mandi, membilas tubuhnya dengan sabun dan air dalam waktu singkat, mengenakan pakaian yang ada, kemudian keluar dari sana dengan kepulan uap air melayang keluar dari pintu.
Tidak ada nyanyian ketika ia mandi, berarti isi kepalanya kosong, seperti biasa. Orang macam apa yang bernyanyi ketika mandi?
Setelahnya ia mengecek ponselnya. Sebuah notif selamat pagi dari kekasihnya (langsung ia balas dengan senyum tipis menghias wajahnya), lalu wajahnya berubah ketika melihat notifikasi chat grup kelasnya.
[ 999+ pesan belum terbaca ]
Gadis itu mengembuskan napas berat, lalu membukanya. Belasan murid mengirim lusinan pesan, menanyakan jawaban pekerjaan rumah yang sudah diberikan sejak minggu lalu. Baru pukul tiga pagi mereka berhenti.
Gadis itu mengetik, "PR-ku sudah selesai."
Mendadak ponselnya bergetar, non-stop selama 5-7 detik.
Bagi!
Bilang-bilang dong....
Payah, ah, baru sekarang bilangnya.
Lagi, gadis itu mengembuskan napas berat, lalu mengetik, "Di sekolah saja."
Ponselnya bergetar lagi. Gadis itu langsung mengaktifkan mode pesawat.
---
"Miz, bagi!"
"Oh, baru kau yang datang?"
Seorang gadis berkulit kelabu memandangnya dengan tatapan takjub. "Kau sudah menyelesaikannya, 'kan? Sebenarnya kalau kau ingin, maksudku membolehkan, tolong ajarkan aku...?"
"Tenang saja, Irida." Ia memberikan senyum hangat. "Kemarikan buku tulismu, biar kutunjukka--"
BRAK!
"MIZU, BAGI!"
Seorang lelaki berambut karamel menggebrak pintu, melempar tasnya ke kursi, lalu berjalan cepat ke arah dua gadis itu. "Gak mau tahu, kufoto dulu jawabanmu."
Gadis dengan surai keunguan itu mendengkus. Ia melepaskan ranselnya, mengeluarkan buku tulisnya, lalu memberikannya pada pemuda itu. Tanpa ucapan terima kasih, ia mengambilnya.
"Jadi, Irida," gadis itu berkata, "materinya--"
"Mizuuu, bagi jawabaan!"
Gadis itu menoleh lagi ke pintu. Kini tidak hanya satu orang, lebih dari lima.
Tidak, itu anak-anak dari kelas lain juga.
"Mizu...?" Irida memanggilnya lirih.
"Masuk saja," ujar Mizu, datar seperti biasanya. Namun lebih keras.
"Oh!" Irida beranjak dari kursinya. "Ayo semuanya, duduk saja di bangku masing-masing!"
Mizu menatapnya heran. Namun tanpa banyak basa-basi, orang-orang yang berkumpul tadi langsung duduk di bangku-bagnku kelas. Beberapa menempatkan diri di lantai.
"Eh, Roy, buku Mizu? Nanti ganti--"
"Shhh, Yeon!" Irida menaruh telunjuk di bibirnya. "Ayo, Mizu, jelaskan saja caranya di papan tulis?"
"A-apa?!" pekiknya, menatap gadis berkulit kelabu dengan sepasang mata menatapnya penuh harapan--ah, sulit dijelaskan. "... Ada... ada spidol?"
Irida mengambil spidol hitam dari meja guru. "Ini," ucapnya, menyerahkan benda itu kepadanya. "Matematika tidak pernah menyenangkan," imbuhnya.
Tanpa banyak pikir, Mizu melangkah ke depan seraya memegang buku paketnya. "Jadi, halaman berapa?" tanyanya.
"Empat!"
Gadis itu menuliskan soal yang ada, lalu menjelaskannya.
Dimensi tiga. Kubus, balok, kata "oh" yang panjang, diagonal sisi, diagonal ruang, kata "lanjut" seperti komentar netizen di cerita Wattpad yang lagi ngetren-ngetrennya.
"Jadi, tinggal berapa nomor lagi, sih?" tanya Mizu.
"Satu lagi, kok!" jawab Irida riang, masih menatapnya dengan penuh harapan. Sama seperti anak-anak lain.
Gadis itu merasa canggung, sebenarnya. Namun cara itu memang salah satu cara yang terbaik untuk menyelesaikannya, dan yang tercepat. "Oke, nomor--"
"Kalian gak denger bel?"
Kali ini, semua murid menoleh ke pintu masuk. Seorang guru dengan mata merah menyala menatap balik dengan tajam.
"Pak... Haze...?"
Tiba-tiba saja lima orang sudah berdiri, lari menuju pintu seraya menyapa guru itu dengan terburu-buru, lalu keluar dari sana. Mizu, mendadak rasa takut menyergap dirinya, terjongkok di depan ruangan. "Pak, maaf sa--"
Guru itu berjalan menuju salah satu kursi kosong murid, lalu duduk di sana dengan posisi santai. Tanpa ekspresi di wajahnya, ia berkata, "Lanjutkan."
"Ayo Miz, lanjut!"
"Gak usah ngegas Roy, elah!"
Mizu mengembuskan napas lega. "Oke, nomor...."
Mizu membisikkan kata-kata sifat positif ke dalam hatinya. Ia berusaha untuk tidak meledak mendadak di depan sana.
Selesainya, ia izin ke toilet, berlari ke sana. Ia mengunci dirinya di salah satu bilik, berjongkok.
Lalu menangis untuk mengeluarkan rasa takut yang ia hadapi sedari tadi.
[ Ramalan zodiakmu hari ini: Aries ] NPC'S 30 Days Writing Challenge Fiftieth Day
note:
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.