╭ hiperbola ╮

171 38 30
                                    

·–·–·– ·–·–·– ·–·–·– ·–·–·–

–·– · –·· ··– ·–   ·– –· ·– –·–   ·· – ··–   ·–· ·· ··· –·– ·– –·

–·– ·· – ·–   ···· ·– ·–· ··– ···   ··· · ––· · ·–· ·–   –– · –· –·–– ·· –· ––· –·– ·· ·–· –·– ·– –·   –– · ·–· · –·– ·–   –·· · –– ··   ·––· ·–· ––– –·–– · –·–   ·· –· ··

"Jadi, apa yang dia lakukan?"

Wanita di hadapanku mengembuskan napas berat. "Kau tahu, Terence... sebagai mantan guru SD-mu, kuakui adikmu itu jauh lebih sulit dikontrol dibanding dirimu."

Aku tertawa pelan. "Misal?"

"Misal...."

"Contoyoyo!"

Seorang anak berteriak tepat di depan pintu kelas, mengangkat kedua tangannya dan memasang tampang kesal di wajahnya. "Kakak!" teriaknya, menatapku dengan sepasang mata hijau botolnya. "Dia marah!"

"Ya, sebentar Zack, aku sedang berbicara dengan gurumu." Aku kembali menatap gurunya.

Wanita itu memberikan adikku tatapan jijik.

"Maaf, Bu, bisa dilanjutkan?"

"Ah iya, jadi, adikmu itu...."

Aku mendengarkannya hingga ia memberikan kalimat kesimpulan di akhir. Kubiarkan adikku memanjat-manjat tubuhku, memukul-mukulku beberapa kali, tetapi juga berkali-kali memutari ruang kelasnya sambil berteriak-teriak.

"Baik, sekarang nilainya... mengejutkannya, Zack masih bertahan di rank ke-5. Yah, lucunya dia masih cadel kelas 2 SD ini."

"Yah, itu Zack untukmu," kekehku. Wanita itu menatapku dengan senyum tipis.

"Sungguh?" tanya wanita itu. Aku mengangguk.

"Ya. Dia memang seperti itu."

---

"Jet, jadi kalau--"

"Tidak juga kau!"

"Astaga, pelankan suaramu!" Aku menjewer telinga anak itu, membuatnya merengek dengan suara cempreng menggelikannya itu. "Jangan baca puisi sekeras itu malam-malam."

"Tak perlu sedu sedan itu!" Ia berdiri di atas kasurnya, menepuk-nepuk dadanya dengan keras. "Aku ini binatang jalang!"

Pintu kamar kami terbuka, muncul seorang wanita dari sana. "Tidur!" teriaknya, lalu membanting pintu.

Aku menggaruk leherku, merasa canggung. "Kayaknya kita harus tidur, Kak Cecil udah marah gitu...."

"Kak, HP Kakak geter dari tadi, ada yang nelepon," ujarnya datar, lalu menunjuk langit-langit dengan lengannya. "Dari kumpulan yang terbuang!"

"Berisik." Aku melemparinya dengan gumpalan kertas dari meja belajarnya, ia berteriak, sok kesakitan, lalu berlutut di atas kasur.

"Kak... Terence....." Lalu seluruh tubuhnya terhempas di atas kasur. "Biar peluru menembus kulitku," ujarnya lirih, "ku tetap meradang, menerjang...."

"Kamu meradang di kasur aja sana, besok masih ada sekolah." Aku beranjak dari lantai, membawa seluruh kertas ujian adikku di tangan dan menaruhnya ke atas mejanya. Ia terlalu sering mencecerkan barang-barangnya di kamar.

"Ugh, males."

"Kenapa?" tanyaku lirih. "Kamu udah SMP."

"Gak ada yang ngerti," ujarnya, tengkurap di ayas kasur. "Gak ada, semua nyebelin."

Not a Silver Lining: NPC's 30 Days Writing ChallangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang