"Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.
"Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku.
"Indonesia, kebangsaanku. Bangsa dan tanah airku.
"Marilah kita berseru, Indonesia bersa--"
"DIAM!"
Seorang wanita muda menatap sinis paduan suara yang tengah berlatih di tengah ruangan. Hentakkan kakinya keras, seakan-akan ia akan menghancurkan apapun yang akan ia langkahi. Wajahnya merah, seakan-akan seseorang mencipratnya dengan terik mentari.
"Ini semua... OMONG KOSONG!" teriaknya, membanting sebuah meja kecil dan memecahkan bejana berisi air, menggenangkan ruang musik.
"Ada apa ini?" Seorang pria tua berjalan cepat ke arah mereka. Terlihat jelas para penyanyi dengan riasan ringan itu berwajah lebih pucat dari sebelumnya.
Wanita itu menggenggam gunting di tangannya.
Mata pria itu melebar kwtika ia menyadarinya. "Astaga, Nona, berhenti!" Ia menarik lengan wanita itu, tetapi wanita itu meronta. Ia menatap pria tua itu dengan bengis, melenturkan tangannya hingga gunting itu menggores pipi sang pria.
Para penyanyi membubarkan diri, terutama mereka yang wanita. Para lelaki mendekati wanita itu, takut akan terjadi hal lebih buruk setelahnya.
"Ayu, hentikan!" Seorang wanita lagi, baru saja membuka pintu dengan buru-buru sehingga terlihat rambut keputihannya meredup di balik bayangan, memasuki ruangan. "Hentikan, Nak!"
Wanita yang dipanggil Ayu itu tidak menoleh, tetapi ia makin meronta. Pria tua yang masih mengunci kedua tangan wanita itu tetap tidak bergerak, menahan rasa perih di pipinya.
Beberapa pemuda dengan pakaian kasual mengikuti jejak langkah wanita beruban itu, mengamankan Ayu.
Namun Ayu masih tidak merasa aman.
"Ini? Merdeka?!" teriaknya. "Omong kosong, kembalikan hakku! Kembalikan ayahku! Kalian hanya bisa merampas, mengucapkan bualan manis dengan mulut menjijikkan kalian. Aku--"
Leher belakang Ayu dipukul, ia tak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian, kondisi sudah aman. Paduan suara kembali berseru, tetapi pria tua tadi masih terduduk di atas kursi dengan kotak berisi perlengkapan kecil dan obat-obatan tersusun di sisinya.
"Pak, maafkan perilaku anak saya," ujar wanita beruban di sampingnya, ibunda Ayu. Ia menatap lesu pria tua dengan kapas yang kini tertempel di wajahnya. "Ia... tidak kuat dengan perubahan cepat ini."
"Tidak kuat, ya?" Ia berdeham. "Saya tidak tahu harus bicara apa...."
"... Dia sudah kehilangan akalnya," suara wanita itu mengecil, bergetar, "ketika ayahnya tidak kembali selama berbulan-bulan, kami sangat khawatir. Ia sangat khawatir. Ia sudah gila, Pak!"
Pria tua itu mengembuskan napas berat. "Karena sumpah pemuda yang terjadi beberapa saat lalu... akan lebih banyak hal menghadapinya."
Wanita di sisinya mendadak menangis tersedu. Pria itu menunduk, merasa kepalanya sangat ringan dan kosong.
"Merdeka, ya...?"
[ Latar waktu 1928, seorang anak yang merindukan ayahnya yang gugur di medan perang, hingga hampir gila ]
NPC'S 30 Days Writing Challenge
Seventeenth Daynote:
Dirgahayu Indonesiaku!
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Silver Lining: NPC's 30 Days Writing Challange
KurzgeschichtenKarena kita tidak selalu memiliki harapan untuk melalui semua hal ini. Update setiap hari mulai tanggal 1 hingga 31 Agustus untuk mematahkan semangatmu dalam rangka event @NPC2301.