╭ potret ╮

278 48 17
                                    

Tiap pagi, yang pertama kali kugenggam adalah jeruji besi dingin yang memenjarakanku dari langit. Pandanganku tidak akan berubah: tetap, lebar, dan penuh dengan rasa penasaran.

Apa yang akan langit sajikan padaku hari ini?

Gumpalan awan kelabu bergulung perlahan menuju barat daya, memberikan beberapa celah untuk cahaya mengelus gedung-gedung sudut kota kecil ini. Aku tidak ingin menunduk, memperhatikan jalan raya yang sepi seperti biasanya.

Aku mengibas piyamaku, lalu beranjak mandi tanpa banyak pikir.

Tiga hari lagi, aku masih punya beberapa waktu di tanganku.

Esok paginya, aku terbangun oleh suara klakson keras. Tubuhku tersentak, membuat kepalaku terasa ringan dan kosong. Kukerjapkan mataku beberapa kali, baru menoleh ke jeruji besi di sisi kasurku.

Apa yang pertama kali kulihat merupakan kaca jendela yang berdebu, aku dapat melihat wajahku sendiri di sana.

Aku sedikit bergeser, membuka jendela di balik "jeruji" yang terpasang di hadapanku. Asap mengepul, jalanan sudah dilewati mesin-mesin beroda yang mengeluarkan bunyi-bunyi menyebalkan.

Kupandang langit, bersih. Tidak ada apa-apa di atas sana. Bukan sesuatu yang kuinginkan. Langit berwarna biru muda seperti kota susu vanilla yang biasa ia minum itu membuatnya merasa ia dibohongi, seakan-akan langit itu menutup dirinya yang hanya berisi kekosongan--gelap.

Aku membuka satu kancing teratas piyamaku, lalu beranjak mandi tanpa banyak pikir.

Dua hari lagi, semoga Tuhan memberikannya kesempatan.

Esok paginya, aku terbangun dengan tangan kiri terhimpit oleh tubuhku sendiri. Saat aku duduk, sensasi dirayapi oleh semut di pembuluh darahku membuat gigiku bergemeletuk. Kesal, aku memandang ke luar jendela.

Hujan. Sialan.

Hujan.

Aku menyingsingkan lengan piyamaku, lalu beranjak mandi tanpa banyak pikir.

Besok hari terakhir, dan kalau aku tidak mendapatkannya mungkin aku akan menenggak satu pil tidur.

Dan hari esok pun datang, berjalan dengan sangat lambat seakan-akan ia terseok menuju apartemenku.

Aku tidak tidur, aku menunggu sesuatu yang harus kudapatkan.

Sesuatu yang dapat menjadi kunci keberhasilanku.

Sesuatu yang dapat memberikanku, setidaknya, harapan.

Tanganku memutar lensa kamera yang kupegang. Suasananya sunyi, aku dapat mendengar napasku sendiri dengan jelas.

Lampu kamarku kumatikan. Untuk apa? Agar aku dapat melihat cahaya pagi sesegera mungkin.

Kali ini, aku harus menemukannya.

Ketika seberkas cahaya melewati lenganku, aku segera menatap langit.

Matahari menyembul sedikit dari atap gedung kantor seberang apartemenku. Langit... langit biru pudar itu bukan yang kuinginkan, namun serakan awan-awan tipis membentuk sisik ikan menangkap perhatianku. Aku meringis, memori itu terputar lagi di kepalaku.

"Itu yang mereka sebut sirokumulus."

Aku mengangkat kameraku, mengabadikan awan-awan yang terterpa cahaya keemasan pagi di sisi-sisinya. Seakan-akan aku menatap pantai di atas sana, dengan ombak pelan mengguyur satu-satu bongkahan pasir yang menempel satu sama lain.

Setelahnya, aku membuka atasan piyamaku du atas kasur, lalu beranjak mandi dengan tumpahan imajinasi mewarnai pikiranku.

Sore, saat yang kutunggu-tunggu. Kakiku menjejak lantai putih mengilap dengan penuh percaya diri. Kamera kugenggam di tangan, aku amat sangat tidak sabar.

Kulihat deretan kursi dipenuhi banyak orang, tua dan muda. Terdapat satu stan makanan di pojok ruangan, didiami seorang wanita yang menjaga kasir dengan mata mengantuk. Semelelahkan itukah bekerja di gedung ini? Aku tidak tahu, tetapi setidaknya itu yang mereka ucapkan.

Aku menggunakan lift untuk mencapai lantai tiga, bergegas keluar melewati dua pria berjas putih selutut beraroma obat-obatan, lalu melangkah cepat melalui lorong bernuansa krem yang selalu kurindukan.

Ruang 312, aku... aku datang.

Pintu kuketuk beberapa kali. Suara wanita menjawabnya, mengajakku masuk. Saat kubuka pintu, kulihat seorang perawat tengah menata sesuatu di atas laci kecil di samping kasur. Ia memberikanku senyum singkat, lalu meninggalkan ruangan.

Aku menutup pintu, lalu menatap wanita yang terduduk menatap langit dari kasur putih tempatnya tidur dan makan. Ia membelakangiku, tetapi aku dapat melihatnya. Kulitnya berkeriput, beberapa rambutnya mulai memutih....

Apakah ia tidak menyadari kedatanganku? Apakah ia tidak mendengar? Perawat tadi sudah berkata padanya bahwa aku datang, bukan?

Perlahan aku menaruh kamera yang kubawa ke kasurnya, ia tidak sadar. Kututup matanya dengan kedua tanganku, ingin mengagetkannya.

Aku mendengarnya tertawa pelan.

Tangan lemahnya menggapai kedua tanganku, memintaku untuk melepaskannya. Aku segera berlari ke hadapannya, berharap sempat melihat senyumnya.

Ia menatapku hangat, meraih tanganku dan tersenyum.

Aku tidak dapat membendung tangisku.

"Aku... anu, ada sesuatu."

Kuambil kameraku, membuka simpanan foto-foto yang kukumpulkan. Kuperlihatkan kepadanya segala hal yang pernah ia ajarkan padaku sejak kecil.

"Kumulonimbus, sirus," bisikku pelan ke telinganya seraya memperlihatkan foto-foto itu. "Indah, 'kan?"

"Aku tahu, kau tidak perlu memberitahukannya." Ia tertawa kecil. Sekali lagi, ia menggenggam pergelangan tanganku, mendongak, menatapku dengan mata kering yang dipenuhi rasa penasaran.

"Kamu siapa?"

Jantungku berhenti berdetak.

Kupeluk wanita itu erat-erat. Aku dapat merasakannya, merasakan rasa segannya memeluk orang asing yang mendadak menjenguknya tanpa menanyakan kabar. Air mata mengalir ke daguku, leherku. Wanita itu tidak menggubrisnya, kepala masih dipenuhi tanda tanya.

"Ini aku," ujarku pelan.

Tidak ada respons. Aku memeluknya lebih erat.

"Bu, ini aku, Agara." Anak pertamamu yang selalu kau ajak bermain dengan awan tiap pagi.

[Langit di pagi hari]
NPC's 30 Days Writing Challenge
Second Day

note:
    Pendek dulu hari ini karena banyak tugas, maafkan :(

Not a Silver Lining: NPC's 30 Days Writing ChallangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang