╭ lari ╮

53 14 2
                                    

Seharusnya ia berangkat kembali ke negaranya setengah jam yang lalu.

Kini ia sendirian, terjebak di tengah badai salju akhir tahun. Apakah seharusnya ia ada di sini? Entahlah, perlahan pandangannya berkunang-kunang.

Seakan-akan seharusnya ada yang tidak ada di sana.

Ponselnya terus bergetar, dan ia tidak ingin melihat notifnya. Mungkin komentar kebencian lagi. Apakah salah ia memenangi kompetisi itu dengan adil? Sebenarnya pemuda itu tidak begitu menyukai debat, tetapi ia terpaksa.

Dari sana juga pengingat pesawat terbangnya muncul, mengingatkannya nyaris tiap jam pada hari itu agar ia tidak lupa. Antara itu, atau ia berharap terus sadar dengan dering tiap jam dari ponselnya.

Pilnya sudah habis ketika ia membutuhkannya.

Bohlam lampu sesekali berpijar, membuat tubuhnya berjengit beberapa kali pula. Perasaannya tidak nyaman, tetapi familiar. Seakan-akan ia akan bertemu kembali dengan musuh terbesarnya, seakan-akan ia akan kembali lagi ke masa lalu.

Di luar dinding kaca, ia dapat melihat sebuah pesawat baru saja mendarat dari langit hitam malam. Bulu kuduknya berdiri, ia merindukan rumah.

Suasana malam di bandara itu tidak terlalu ramai. Sepi, bahkan langkah tiap orang yang berjalan dalam radius 10 meter masih dapat ia dengar dengan baik. Tidak ada banyak aktivitas terjadi di sana.

Ah, mendadak ia mendengar suara denging, diikuti gelak tawa tiga orang pria dewasa yang berlebihan. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Memang ada beberapa pengeras suara di sana, dan ada tiga pria tak jauh dari tempatnya tengah mengobrol dengan suara keras. Namun beberapa orang di sekitarnya, sekitar dua orang, terlihat tidak terganggu sama sekali oleh suara-suara itu.

"Du musst nicht so einen krach machen," (Kau tidak perlu membuat suara seperti itu) ujarnya agak keras, berharap tiga pria tadi mengecilkan suaranya.

Warna suara baru terdengar, "Der spinnt, kein Schwein war da." (Dia gila, tidak ada orang di sana)

Pemuda itu menoleh, menatap orang yang membalas perkataannya. Satu dari dua orang yang ia lihat tadi. Hanya seorang pria tua dengan uban di sekujur kepalanya, meminum botol berisi entah apa dan sesekali menghirup napas dalam-dalam.

Tidak ada orang di sana, ya?

Ia beranjak dari bangku besinya, masih mengenakan ransel hitam yang ia bawa ke mana-mana. Terlihat dari sorot mata birunya, detak jantungnya mulai memburu. Napasnya masih teratur, tetapi ia sudah dapat mendeteksi ada yang salah di sana.

Kamar mandi pria, tempat itu yang ia tuju. Mungkin ia akan membasuh wajahnya dengan air hangat, meminum pil penenang, lalu kembali ke tempat duduknya. Tidak, sepertinya ia harus duduk di dekat pria yang membalas perkataannya.

Atau justru orang itu yang mengacaukan pikirannya? Ia mengernyitkan dahi, semuanya terasa membingungkan. Apakah ia harus menelepon pamannya? Tidak, masih terlalu pagi di negara seberang sana. Ia juga tidak ingin pamannya panik, pamannya sudah punya masalah lain yang harus dikerjakan.

Ia tahu bukan orang itu yang mengacaukan pikirannya, hanya dirinya sendiri. Namun ia sedang tidak ingin menyalahkan dirinya sendiri sekarang, sendiri di negara asing yang hanya ia kagumi kulitnya.

Tangannya gemetaran ketika ia membuka pintu kamar mandi pria. Total enam bilik yang ada di sana kosong, begitu pula dengan urinalnya.

Keran besi yang ia putar terasa dingin, menusuk kulitnya, membuatnya mendesah kesal. Lidahnya terasa sangat kering pula, tetapi ia sudah segan sekali membeli satu botol air minum di sana. Ia berkumur-kumur dengan air hangat yang ada di sana. Membasuh tangannya, lalu wajahnya.

Not a Silver Lining: NPC's 30 Days Writing ChallangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang