╭ misi ╮

62 20 2
                                    

Aku dipungut di depan pintu rumah berdinding kecokelatan, dengan aroma manis roti yang selalu membuat perutku keroncongan tiap sore aku berteduh dari hujan.

Saat itu aku masih belum mengingat namaku.

Pintu kehijauan itu berderak terbuka. Aku meringkuk, menyandarkan punggung ke dinding bata yang dingin. Aku tidak sadar sebuah tangan melambai tepat di hadapanku. Tatapanku buram, aku menyalahkan air hujan. Namun ketika sesuatu yang hangat menggenggam lenganku, aku mendongak.

Di sana berdiri seorang wanita, menatapku heran dan termangu selama beberapa saat. Aku hanya dapat menatap mata merahnya dalam-dalam. Aku tidak pernah melihat mata dengan iris merah segelap itu.

Wanita itu mengajakku masuk, memberikanku handuk dan membuatkanku secangkir teh. Aroma melati dari teh itu seakan-akan melelehkan hidungku, membuat rasa laparku makin menjadi.

Ia memberikanku beberapa potong roti,  mengambil handuk yang kutaruh di bahuku, lalu mengeringkan rambutku dengannya.

Sejak itu ia memanggilku dengan kata, "Adik."

Aku tidak memberitahukan namaku padanya.

Sore berikutnya, aku memasuki rumah itu. Kudapati ia tidak sendirian di sana. Terdapat satu anak, tak jauh berbeda denganku. Wajahnya cerah, senyumnya lebar.

Aku tidak menyukainya.

Tiap kali aku duduk di kursi meja makan, ia akan menyeret kursinya ke sampingku, berusaha untuk mengajakku bicara. Aku tidak suka bicara. Aku hanya mendiamkannya, tetapi semangatnya tidak pernah padam.

Aku berakhir pamit walau wanita itu memintaku untuk menemaninya.

Esoknya, anak yang berbeda lagi.

Seorang perempuan, seumuran denganku. Ia membawa bertangkai-tangkai bunga di tangannya. Saat ia melihatku, ia bersembunyi di balik wanita bermata merah itu.

Wanita itu mengatakan, "Tidak apa." berkali-kali. Aku hanya terdiam. Namun setelah beberapa saat, anak itu memberikanku secangkir teh hangat. Ia bilang itu untukku, dan ia meminta maaf karena, "Takut saat melihat tatapanmu yang mengerikan."

Aku tidak peduli. Aku meminum tehku. Anak perempuan itu terus menatapku, seakan-akan aku ini benda asing. Risi, aku pergi lagi walau wanita bermata merah itu memintaku untuk tinggal.

Esoknya, aku datang lagi ke sana. Kini anak lelaki yang berbeda, dengan mata sipit karena memandangku dengan penuh curiga.

Saat wanita itu memberikanku makanan, ia tengah duduk di pojok ruangan, menatapku dengan mata sipitnya itu. Aku tidak banyak bicara, aku nyaris tidak pernah bicara di rumah itu.

Namun, kalau boleh jujur, aku lebih memilih anak bermata sipit ini untuk menjadi temanku.

Esoknya, aku datang lagi. Kini mereka bertiga ada di sana.

Wanita itu menyambutku dengan gembira, membuat kami berkumpul dan duduk membentuk lingkaran.

Ia bilang ini tradisi.

Ia menanyakan nama lelaki yang sedari tadi terus tersenyum.

Ia tidak ingat.

Wanita itu berkata, "Taum." lalu anak itu tersenyum lagi, berkata maaf, lalu mengatakan bahwa namanya Taum.

Kini giliran perempuan itu. Sang wanita menanyakan namanya. "Amor," jawabnya.

Terakhir, anak lelaki dengan mata sipit. Belum wanita itu bertanya, ia menjawab, "Rom."

Kini ia menatapku, berkata, "Kau akan menjadi pengakhir dari mereka semua."

Ia menyentuh dahiku. "Aku percaya kau yang paling bertanggung jawab di antara kalian semua. Mereka membutuhkanmu. Mungkin tidak semua orang akan menyukaimu... tapi tetaplah menjadi dirimu sendiri, sosok terbaik dari dirimu sendiri."

"Kenapa?" tanyaku lirih.

"Karena kau Maut."

Namaku Maut.

Esoknya, aku datang lagi ke sana. Begitu pula ketiga anak itu.

Esoknya, kami datang lagi.

Esoknya, dan esoknya.

Seakan-akan itu sudah menjadi tradisi bagi kami.

Di sana kami mulai mengenal satu sama lain, menjadi pijakan satu sama lain untuk berdiri.

Taum dan keceriannya, Amor dan kesayangannya, Rom dan ambisinya, dan aku...

... aku yang akan menghabisi apa yang mengganggu harmonisasi keluarga kecil ini.

Bahkan ketika wanita itu tiada.

Bahkan ketika kami benar-benar sendirian di dunia ini.

Karena namaku Maut.

NPC's 30 Days Writing Challenge
Tenth Day

Not a Silver Lining: NPC's 30 Days Writing ChallangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang