╭ mayat ╮

78 27 0
                                    

Mereka bilang aku tidak stabil.

Terkadang saat aku tengah memfokuskan pikiranku pada sesuatu yang nyata, sesuatu seperti papan tulis misalnya... kepalaku bergetar, lalu semuanya menjadi gelap, dan duniaku membisu.

Mereka bilang aku seperti ini sejak lahir.

Ketika aku sedang mengunyah makan siangku, bisa saja mendadak tubuhku melemas, dan aku benar-benar dapat merasakan tubuh bagian atasku menghantam meja. Lalu tak lama, aku terbangun... sudah berada di lokasi pembuangan sampah belakang gedung sekolahku.

Mereka bilang hal seperti itu tidak perlu kutakutkan.

Aku baru menyadarinya setelah dua tahun berada di sekolah dasar. Guruku mengatakan beragam hal tiap pulang sekolah. Apakah aku tadi terluka? Ke mana saja aku pergi? Apakah teman-temanku tidak ada yang memperingatkanku...?

... Memperingatkanku akan apa? Yang kutahu, aku tertidur selama beberapa menit di meja dan kursiku.

Namun kau tahu apa?

Guruku bilang aku memanjat-manjat pagar atap sekolah, tidak di bawah pengawasan siapapun, dan mereka bilang sebelumnya pintu menuju atap sudah dikunci. Malah, tidak pernah dibuka.

Saat aku pulang ke rumah, aku baru sadar tanganku penuh luka baret dan memiliki beberapa memar kebiruan.

... Ibuku menangis, dan...

... ayahku terdiam.

Aku tidak mengerti.

Apakah mereka mengerti?

Tidak.

Bagaimanapun juga, aku tetap harus menjalani segalanya... dengan itu semua.

Mengerjakan tugas di perpustakaan sekolah, terbatuk, sesuatu yang kukira dahak menodai tanganku... bukan dahak, darah.

Lalu aku akan kehilangan penglihatan dan pendengaranku, dan aku tahu tubuhku pasti akan melakukan sesuatu yang gila.

Menyelesaikan sekolah dasar amat sangat tidak mudah bagiku. Aku tidak dapat mengingat banyak pelajaran, aku selalu dihujani hukuman-hukuman yang rasanya tak pernah kulakukan....

Ayah dan ibuku... bukan frustasi, mereka bingung. Aku tidak tahu merrka kecewa memiliku sebagai anaknya atau apa, tapi... aku kecewa pada diriku sendiri sudah membuatku ingin menghapus eksistensiku sendiri.

Nenekku memaksaku untuk pergi berobat. Ia membujuk ayah dan ibuku, berkata mungkin ada jalan keluar dari penyakit ini.

Aku ingat mereka menaruhku di sebuah ruangan, dengan seorang pria berkacamata yang belum pernah kutemui sebelumnya. Ia mengajakku bicara, aku tidak tahu harus menjawabnya dengan apa.

Tidak ada yang abnormal, semuanya berjalan dengan biasa. Sungguh. Ia memberikanku topik pembicaraan, menatapku dengan tatapan sabar....

Ia bahkan membukakan pintu ketika aku hendak keluar ruangan, dan saat itu aku menghilang.

Saat aku terbangun, terdapat dua atau tiga pil obat di tanganku. Ibuku di depanku, menyuruhku untuk meminumnya. Aku menurutinya.

Kerongkonganku serasa terbakar.

Lambungku. Perutku... ususku.

Kepalaku.

Kepalaku, memusingkan.

Aku tidak sadarkan diri lagi.

Namun waktu terus berjalan, aku harus memasuki jenjang sekolah menengah pertama.

Tidak ada yang ingin mengajakku bicara, bahkan wali kelasku hanya dapat tersenyum padaku.

Kau tahu rasanya dikucilkan?

Dilupakan?

Tidak dianggap?

Aku terus meminum obatku, seperti yang merrka minta. Namun tidak ada perubahan. Aku hanyalah aku, orang yang hidup tidak sepenuh waktu, tetapi....

... Entahlah, aku sendiri bingung.

Namun kau tahu apa?

Aku masih tidak menyukai diriku sendiri.

Ada satu momen yang kuingat, momen yang tidak akan pernah kulupakan.

Seorang guru perempuan menamparku di depan kelas. Aku tidak tahu penyebabnya. Kulihat murid-murid lain tengah duduk di kursinya, tegang. Guru itu terus mengancam,

"Apa yang kamu lakukan tadi?"

"Kamu pikir itu sopan?"

"Kamu ini siapa dibanding saya?"

"Kamu itu dari dulu selalu seperti ini, bagaimana nanti--"

Aku lari.

Aku berlari keluar kelas, menggebrak pintu, menuruni tangga gedung. Aku berlari.

Aku berlari tanpa henti, sesekali hilang kesadaran lagi, tetapi tubuhku masih berlari.

Aku dan dia memiliki tujuan yang sama. Pulang.

Darahku mendiri terbakar panas matahari dan emosi. Aku tidak mengetuk pintu utama rumah, aku mendobraknya.

Hal yang kulakukan:
1. aku mengunci pintu;
2. aku berlari ke kamarku;
3. mengunci pintu kamar;
4. memukul cermin di kamar hingga tanganku berdarah;
5. berteriak pada ketukan pintu kamarku;
6. menendang pintu kamarku;
7. memukul lengan ayahku yang memasuki kamarku;
8. mengabaikan apa saja yang ia katakan;
9. memukulnya;
10. memukulnya;
11. memukulnya;
12. memukulnya;
13. memukulnya;
14. duduk di sampingnya;
15. menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan;
16. kehilangan kesadaran;
17. terbangun dengan darah di sekujur tubuhku;
18. sadar tubuhku tidak merasakan rasa sakit;
19. sadar aku berada di luar rumah, telentang di atas rerumputan pekarangan depan rumah;
20. bangun;
21. mendapati ayah di bawahku, tubuh dipenuhi darah;
22. berteriak.

Tidak ada yang datang.

Pandanganku menggelap lagi.

Aku terbangun di kamar orangtuaku, tubuh ditutupi selimut. Tak lama setelah aku membuka mata, pintu kamar terbuka. Ibuku masuk; mata sembab dan merah, wajah pucat....

"Hiyoshi," ujarnya lirih, "ayah meninggal."

Aku bergeming.

Apakah aku yang membunuh ayahku?

Ibu tidak berhenti menangis malam itu. Aku tidak bicara sama sekali malam itu. Terlebih nenekku.

Mereka bilang mereka menemukanku dan ayah di depan rumah. Sepertinya kami jatuh, sepertinya ayah ingin menyelamatkanku.

Jendela kamarku tidak memiliki teralis besi, hanya kaca tipis yang... seharusnya tidak dapat pecah.

... Namun sepertinya tubuhku kuat untuk memecahkannya.

Saat ayah dikubur, aku memayungi ibuku. Mataku menatap kesal kotak kayu yang menenggelamkan ayahku ke dalam tanah.

Apakah aku yang membunuh ayahku sendiri?

... Aku?

Ayahku sendiri?

Aku menutup kedua mataku. Setetes air mata mengalir.

Rahasia itu tersimpan dengan sangat aman, dan tidak akan ada yang dapat memecahkannya.

[Rahasia antar dua orang akan tetap tersimpan jika salah satunya mati]
NPC'S 30 Days Writing Challenge
Sevent Day

note:
    Disease unknown.

Not a Silver Lining: NPC's 30 Days Writing ChallangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang