T H R E E

17K 2.3K 255
                                    

[R]

Aku tahu kekayaan Jeno tidak bisa dihitung dengan jari. Di logika saja, aku langsung menyerah jika dihadapkan dengan pertanyaan seberapa banyak jumlah kekayaan tuan Lee Jeno. Toh, aku tak pernah menginginkannya sebenarnya, karena aku masih bisa hidup melalui gaji bulananku sebagai seorang desainer.

Pagi-pagi sekali aku terbangun. Subuh yang bahkan burung pun belum terdengar berkicauan.

Perutku terasa terkoyak. Ada getaran-getaran yang membuatku ingin sekali melepaskan sesuatu di dalam sana. Asam lambungku dirasa sudah naik sampai tenggorokan.

"Heuppㅡ" aku menutupi mulutku cepat-cepat beranjak dari kasur.

Tapi, aksiku belum sepenuhnya terjadi. Aku langsung kehilangan rasa mengganjal itu.

Aku justru berdiri aneh di samping kasur. Masih mengedip-ngedip karena mendapati tontonan yang bukan main mengagetkan.

"Hoekk."

Mualku terserot habis sudah kemudian. Aku menggeleng menyadarkan diri. Lantas aku melangkah. Mengikuti jejak Jeno yang sudah berlari lebih dulu memasuki kamar mandi, dengan brutal tadi, aku kemudian berjongkok di sampingnya.

Sudut matanya nampak tergenang air. Bibirnya bergetar. Tangannya berusaha meraih putaran air untuk menbersihkan sisa muntahannya.

Aku mengelusi punggungnya kemudian, "Ada yang sakit? Di bagian mana?" mengurut tengkuknya agar lebih enakan.

Jeno hanya menggeleng. Lalu menarik tisu gulung dan membersihkan bibirnya yang kering.

Aku membiarkannya menempeliku. Kami keluar bersamaan dari dalam kamar mandi. Dengan Jeno yang sama sekali tidak mau melepaskan pelukannya pada pinggangku.

Aku serasa merawat bayi besar sekarang.

Saat kami sudah duduk di pinggiran kasur. Aku menoleh menatapnya yang justru menempelkan kepalanya masuk ke ceruk leherku.

Aku mendengus pelan lalu mengelusi rambutnya, "Aku akan mengambilkan air hangat untuk kau minum. Kita berpisah sebentar ya?" aku membujuknya.

Seperti membujuk anak taman kanak-kanak untuk berhenti makan manisan dengan memberikan mereka beberapa mainan lain.

Tapi Jeno malah menggelengkan kepalanya. Dengan pelukan tangannya yang makin mengerat. Aku merasakan hembusan napasnya menggelitik jakunku.

"Aku akan mual lagi kalau tidak mencium baumu."

Hah?

♣🔹♣

Perlu diketahui. Jeno bukan seseorang yang seperti akhir-akhir ini. Seumur kami menjalani hidup bersama, Jeno tak pernah merengek. Bersentuhan pun jarang.

Karena jadwalnya, tak bisa aku pahami meski sudah ku bolak-balik kertas berisikan jadwal itu, yang sering dibawa-bawa oleh Renjun, sekertarisnya.

Pagi sekali Jeno bisa berada di negara orang dan pada malam harinya, ia sudah menggelepar di sofa ruang tengah.

Relasi pekerjaannya bukan main. Aku tentu saja tidak berani mengusiknya. Ia lelah. Sudah jelas.

Dan pada sesekali, kalau Jeno tidak benar-benar lelah mungkin, secara tersirat, ia akan menarikku untuk mandi bersama. Bercinta semalaman, dan pada pagi harinya, aku bangun dengan pantat perih bukan main.

Hanya saat itu, kami tidur saling memeluk berpegangan. Nyatanya, kami sekasur tak pernah bersentuhan. Padahal tak ada guling atau pun bantal yang membatasi, tapi entah kenapa, aku sungkan untuk mendekatinya duluan, dan Jeno tak pernah inisiatif menyentuhku untuk tidur saling menghangatkan.

Pagi ini, Jeno membuat sebuah kejutan lain dalam kehidupan pernikahan kami.

Aku sampai telat berangkat kerja karena dirinya yang, sumpah! Manja minta ampun. Untung Renjun datang menggedor pintu kamar tidur kami, kalau tidak, aku pasti sudah mati dimarahi Haechan, partnerku dalam bekerja.

Aku melangkah tergesa siang itu. Padahal sinar matahari sedang terik-teriknya. Aku yang hanya mengenakan kemeja lengan pendek merasa seperti terbakar akibat sinarnya.

Saat aku tiba di lobi, semua karyawan menatapku dengan melotot. Kaget mungkin karena menemukanku ngos-ngosan tanpa pengawasan siapa pun.

Yah, sebenarnya aku sering lupa kalau kenyataannya Jeno menyuruh pegawainya menjadi supir serta prnjagaku. Tapi aku tidak peduli. Saat sudut mataku menemukan mereka yang baru memasuki gedung kesulitan bernapas akibat mengejarku, aku cepat saja berjalan menuju lift yang untungnya terbuka, pas sekali.

"Jaemin-ssi." suara Renjun yang menyapaku untuk pertama kali ketika pintu lift terbuka. Guratan khawatir berlebihannya membuatku mengerutkan dahi. Tanpa kata, kami berjalan beriringan mendekati ruangan Jeno.

Aku tak mengetuk untuk memberi tanda padanya. Renjun membiarkanku melanjutkan semuanya sendiri. Ketika aku mendorong pintu, ku yakini Renjun sudah kembali ke meja kerjanya.

Aku melangkah mendekati meja kerja Jeno. Aku yakin dia tidak sadar jika aku yang datang. Pasalnya, kursi kebesarannya itu memunggungiku. Tapi siapa yang peduli.

"Hei." aku menyapanya. Menelisik wajah tampannya yang lebih kuyu dari pagi tadi. Tentu saja aku khawatir bukan main.

Jeno yang tadinya terpejam lantas membuka kedua matanya lebar-lebar. Tidak berbicara apapun dengan seenaknya menarikku hingga aku terjeblos di antara kedua pahanya.

Aku mau tidak mau menghempaskan paper bag berisi makan siang yang sejak awal ku bawa sembarang. Saat kepala Jeno kembali menggelitiki leherku, aku mengerang, geli bukan main.

"Hei, Jenhhㅡ"aku menahan eranganku saat Jeno mengendus-endus di sekitaran ceruk leherku.

"Sebentar." ucapku lagi pelan-pelan menjauhkan wajahnya dari leherku.

Ia menatapku sayu. Seperti bayi yang dijauhkan dari benda kesukaannya. Mana bisa tidak luluh kalau begini caranya. Aku kan sudah jatuh hati setengah mati pada laki-laki tampan ini.

"Renjun bilang kepalamu pusing dan kau mengamuk tidak mau bertemu orang-orang di luar sana."

Oh, aku harus bertanya dulu sebelum kehilangan akal.

"Aku tidak suka bau mereka. Rasanya benar-benar membuatku ingin muntah." Jeno berbicara, "Akuㅡaku ingin... Aku ingin bersamamu saja hari ini."

Yakin ini Lee Jeno suamiku?



Bersambung.

Ada Apa? - L. Jeno + N. JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang