E L E V E N

11.5K 1.9K 426
                                    

Jangan berekspektasi. Aku ga yakin ini masih nyambung apa engga.

[N]

"Dia awalnya hanya mengucapkan terima kasih. Lalu waktu aku sudah keluar dari cafe, dia datang mendekatiku bertanya cara meminta maaf yang baik padamu, jadi aku hanya mengatakan untuk memerhatikanmu dan sering-sering menyentuhmu karena kau sangat suka disentuh-sentuh dan dengan begitu kau akan otomatis memafkannya, haha. Lalu aku memberitahukan kalau kau ragu dengan perasaannya makanya aku menyuruhnya untuk menyatakan perasaannya padamu. Jadi bagaimana hasilnya?"

Pipiku serasa akan terbakar sekarang juga. Aku dengan gigi menggigiti kuku jari tak bisa berhenti tersipu.

"Jadi, dia menjadi aneh karena ucapanmu?" sekali lagi aku menyadarkan diri. Mencari-cari suatu kepastian lain sehingga aku tidak berekspektasi terlalu tinggi.

Aku mendengar suara batuk Haechan sebelum dirinya berbicara lagi seperti ini, "Oh, setidaknya sekarang kau tahu bagaimana perasaan Jeno yang sebenarnya, kan? Jadi berhenti marah padanya kalau kau tidak mau suamimu direbut orang."

Aku mendecak mendengar ucapan akhir Haechan. Membawa-bawa perebutan seorang Jeno adalah sebuah keharaman.

Maksudku,

Aku tidak mau menguras tenaga karena cemburu lagi. Meski pada kenyataannya Jeno adalah milikku.

Dia suami tercintaku.

"Sudah aku putus sambungan teleponnya!"

♣🔹♣

Aku berlagak masih capai. Sebenarnya malas bangun saja dari atas tempat tidur. Bahkan ketika Jeno membiarkanku menempeli kasur, dia akhirnya pergi menjalankan pekerjaannya. Pulang ketika sore belum terlihat. Dan sekarang, dirinya tengah mandi, meski sebelumnya sudah membujukku untuk mandi lebih dulu.

"Ya Tuhan." bisikku.

Ini benar-benar berbanding terbalik dari biasanya.

Aku sulit untuk terbiasa. Pada waktu-waktu kecil yang Jeno sempatkan untuk menilikku. Pada waktu-waktu kecil dimana dirinya mulai mendekatkan tubuhnya padaku.

Walau penjelasan Haechan sedikit membantu teka-teki keanehan Jeno sejak kemarin. Aku tetap saja merasa pahit kalau mengingat-ingat bagaimana si Jeno yang sangat menyukai ilmu kebatinanㅡmenurutkuㅡterus-terusan bersikap manis.

"Na, kau harus mandi." Jeno berjalan mendekatiku. Dengan sehelai handuk melingkari pinggangnya.

Lantas aku menarik selimut mencoba menggulung diri di dalamnya, "Aku tidak perlu mandi. Aku tidak pergi bekerja. Tubuhku bersih." begitu jawabku sampai membuat diriku sendiri mengernyit heran sendiri.

Apanya yang bersih, Nana? Kau itu jorok!

"Kau sudah mengatakannya berkali-kali sejak aku mengajakmu untuk mandi tadi." Jeno dengan urat yang terlihat menonjol di setiap lengannya menarik tubuhku untuk digendong.

Tidak membiarkanku sekali saja protes, bibirnya menahan bibirku dengan cepat. Ketika ia menarik diri, aku sudah tepat di samping bak mandi.

Ada Apa? - L. Jeno + N. JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang