T W E L V E

11.8K 1.7K 185
                                    

Lanjut nih.

[O]

Mendung di musim dingin bukan pertanda baik. Ketika Jaemin kembali menahanku untuk tidak mengikutinya. Untuk pertama kalinya aku sadar, dia benar-benar marah besar padaku.

Sejujurnya, aku tidak mengerti. Kenapa Jaemin sampai sulit dihubungi seperti sekarang.

Jaeminku tidak masuk kerja. Jaeminku tidak berkunjung ke tempat-tempat menyenangkan di kota. Jaeminku hilang.

Bahkan, beberapa pengawal yang sudah ku utus untuk membuntutinya kini merepotkanku karena terlalu banyak laporan yang benar-benar tidak aku butuhkan. Mereka hanya terus-terusan melapor minta maaf kehilangan jejak atau mereka yang kehabisan tenaga karena tidak segera menemukan Jaeminku. Kesal sekali rasanya.

"Shit."

Saat itu juga seisi ruangan hening. Seluruh pasang mata menatapku penuh selidik. Kaget mungkin mendengar umpatanku.

Lantas aku berdiri. Melirik satu-satu ke setiap pegawai yang ada di dalam ruang rapat. Aku mendecak dan berkata, "Rapat selesai."

Sebagian dari mereka masih terlihat terdiam. Tidak bergerak barang sedikit pun dari kursi masing-masing. Sementara sebagian lainnya terlihat bisik-bisik.

Mengusap kasar wajahku, aku kemudian berbalik. Menatap ke arah Renjun yang kemudian membungkukkan badannya, aku berpaling setelahnya. Melangkah meninggalkan ruangan paling pertama.

Sebelum pintu tertutup. Sayup-sayup aku mendengar ucapan Renjun pada seluruh pegawai begini, "Rapat selesai. Kirimkan materi kalian padaku setelah istirahat siang nanti. Kalian bisa kembali ke meja masing-masing."

Aku jalan dengan mengacak rambut. Gusar setengah mati rasanya. Ah! Tidak ada yang bisa mengacaukan kinerjaku selain suami manisku itu.

Dimana dirinya sekarang?

♣🔹♣

Dulu aku mengagumi sosoknya. Sampai pada taraf yang mirip menguntit. Diam-diam, aku pernah menitipkan tumpukan buku tugas pada hoobae yang tak sengaja berpapasan denganku di lorong karena aku mendapatinya berada di gendongan seseorang.

"Tolong taruh di meja guru Hong. Terima kasih." aku berbicara cepat lantas setengah berlari mengikuti orang yang tengah menggendongnya.

Aku berhenti di balik tembok ruang kesehatan. Diam-diam mengintip bagaimana keadaannya sekarang. Aku memilih berjalan lebih dekat dan mengintip pada jendela yang terbuka.

"Dokter, Haechan pingsan lagi!"

Aku meringis. Ikut bersedih mendengar nama pujaan hatiku itu disebut-sebut. Ketika tubuhnya perlahan-lahan mulai dibaringkan di atas kasur, tanganku mulai saling bergenggaman. Berdoa agar Haechan segera siuman.

Tapi hukum alam siapa yang mengerti. Meski aku berakhir membolos jam pelajaran setelahnya, lama-lama kakiku kebas juga berdiri di balik jendela ruang kesehatan.

Sementara Haechan yang masih belum kunjung siuman juga, sedikitnya aku ingin menggerutu waktu itu juga.

Akibatnya karena seseorang yang duduk memunggungiku. Yang membuatku jadi kesusahan untuk memantau Haechanku.

Ada Apa? - L. Jeno + N. JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang