[V]
Pernikahan kami berjalan cukup lama. Sudah lima tahun lamanya. Dan selama itu, Jeno tak pernah menyerukan kalimat-kalimat manja apapun padaku.
Kami hidup di atap yang sama. Meski aku sering ditinggal dinas luar kota atau luar negeri olehnya. Sebenarnya, Jeno itu romantis kalau aku menyadarinya.
Setiap kali dirinya balik. Walaupun aku kedapatan tubuhnya menempel pada sofa, di hari selanjutnya, selalu ada kiriman paket yang datang mengatasnamakanku.
Dan setiap paket itu datang, Jeno selalu berada di tempat dimana aku memerhatikan kotak yang terbungkus rapi itu. Setiap kali aku memelototi paket itu, Jeno berhenti dari kesibukannya dan berkata, "Itu untukmu. Jangan lupa dipakai."
Begitulah barang-barang yang ku dapati melalui kurir, yang tak pernah aku pesan atau aku beli, menjadi milikku.
Sebenarnya aku bertanya-tanya. Kenapa Jeno melakukan hal semacam ini. Dibandingkan menghabiskan uang untuk membayar kurir pengantar paket, kenapa dirinya tak langsung saja memberikannya padaku.
Oh, aku harusnya ingat kalau Jeno itu tak bisa dibaca. Dan pada akhirnya, ilmu kebatinanku harus muncul ke permukaan.
Benarkah Jeno menyukaiku sebesar aku menyukainya?
♣🔹♣
Posisi intim yang terjadi ini membuatku sedikit gelisah. Untuk pertama kalinya kami bercinta di atas kursi kebesarannya ini, ini gila benar.
Aku anteng saja ketika Jeno yang berhasil ku bujuk untuk melakukan pekerjaannya tadi. Dan tidak ku sangka, Jeno benar-benar patuh, walaupun setelahnya aku dibabat habis olehnya. Tapi, sedikit saja, sejujurnya aku bangga bisa menaklukannya dan membuatnya beranjak dari duduknya.
"Jeno, pahamu tidak kebas?" begitu aku tanya, Jeno menjauhkan kepalanya dari ceruk leherku.
Tanganku yang masih melingkari lehernya lantas pelan-pelan mengelap keringat yang berada di dahinya.
Ia hanya menyunggingkan senyumnya seperti biasa membuatku mengerucutkan bibir.
"Lee Jeno jawab." aku merajuk.
Dan pada kesempatan itu, bibirku segera diraup habis olehnya. Nyaris aku kira kedua belah bibirku habis ditelan Jeno.
"Kebas. Tapi tidak apa-apa." Jeno nyengir lagi.
Aku hanya mendengus di kemudian. Ketika sunset terlihat dari kaca lebar di ruangan ini. Mulutku segera terbuka mengaguminya.
Nah, kalau Jeno belum pulang di jam-jam seperti ini aku tidak akan berpikiran macam-macam lagi, karena, siapa yang berani melewatkan keindahan gratis, menurutku.
"Haechan pasti mengamuk sekarang." aku membuat topik perbincangan lagi usai langit berubah total menjadi gelap. Di saat itu pula, Jeno memutar kursinya sehingga kami tubuhku terhimpit meja kerjanya.
"Renjun mungkin sudah membicarakan perihal absenmu pada partner kerjamu itu."
Aku mengangguk-angguk setuju. Jarang-jarang Jeno berbicara seperti tadi.
"Oh, hei! Kau tidak mau ke rumah sakit? Kita harus memeriksakanmu."
Jeno mengerutkan dahinya berkata, "Untuk apa?"
"Untuk memeriksakan otakmu yang tiba-tiba bergeser." aku mengambil jeda di sini, "Kau tahu Jeno, aku merasa asing dengan tingkahmu sejak dua hari yang lalu. Kau tidak pernah semanja ini sampai minta ditemani dimana-mana."
Aku mendecak di sela tarikan napasku. Lalu aku kembali bertanya, "Jeno, sebenarnya kita ini apa?"
♣🔹♣
Setiap pagi kami sarapan bersama. Dengan beberapa pelayan yang terkadang mondar-mandir. Sebenarnya aku risih. Tak menampik, serasa kehidupanku bukanlah sebuah privasi karena banyak pasang mata yang terus-terusan menguntit.
Aku bahkan sering tersedak ketika menemukan salah satu dari mereka sibuk memerhatikan Jeno sampai tersenyum sendiri. Menurutku, saat itu aku cemburu.
Tapi, satu hal yang tak pernah aku mengerti. Apakah Jeno itu pernah tahu bagaimana aku cemburu padanya?
Aku selalu ingin bertanya padanya. Kalau aku memiliki beberapa kali kesempatan, aku terus-terusan melewatkan hal itu. Bukan karena aku takut, tapi karena auranya yang selalu mengatakan begini setiap kali kami ditinggal berdua saja; "Jangan dekati aku. Aku tidak akan menjawab apapun."
Aku masih ingat saat itu. Pernah sekali, waktu itu, kami terpaksa harus pergi menggunakan mobil. Tanpa sopirnya. Sehingga Jeno berada di belakang kemudi sementara aku, duduk tenang di sampingnya.
Jujur sekali, aku bukanlah tipe yang bisa diam. Tidak bahkan jika dipaksa. Tapi ketika bersamanya, aku selalu berhasil bungkam.
Begitulah aku meliriknya sesekali dengan kepala penuh pertanyaan. Pada akhirnya aku menemukan Jeno yang menolehkan kepalanya menghadap ke arahku bertanya, "Ada apa?"
Aku menelan ludahku berat. Bahkan hanya bertanya saja Jeno sudah membuatku berdebar-debar. Lantas aku menggelengkan kepalaku mencoba untuk netral.
"Kau sakit?"
Pertanyaannya tak ada emosi. Kelewat datar. Hingga siapa saja yang mendengar mungkin jengkel, tapi aku tidak. Karena pertanyaannya itu serasa seperti dirinya mengkhawatirkanku benar-benar.
Aku tersenyum. Mengangkat tulang pipiku tinggi-tinggi berharap Jeno memerhatikannya.
"Boleh menyalakan musik?" aku mengucapkan keinginanku pada akhirnya dan Jeno terdengar mendecak sembari berkata, "Nyalakan saja."
♣🔹♣
Teruntuk Lee Jeno yang paling aku sayangi. Dia benar-benar menyukai sesuatu hal yang menyebalkannya membuatku terus-terusan dilanda penasaran.
"Kita adalah pasangan yang sudah menikah."
Aku mendecak. Jelas sekali. Sudah kelewat gemas sampai rasanya ingin mencakar wajah putihnya itu.
Tapi Jeno malah memberikanku banyak kecupan. Serasa aku seorang bayi yang ditimang-timang olehnya, wajahku banjir liurnya.
"Kita harus pulang sebelum semakin malam. Sini aku bantu memakai baju."
Ini teka-teki apalagi?
Bersambung.
Yakin masih mau pada lanjut?
Aku ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa? - L. Jeno + N. Jaemin
FanfictionDari yang Jaemin tahu, hanya dirinya yang jatuh hati pada Jeno. Entah kalau suaminya itu. YAOI! Boy x Boy M-preg ➡Dimulai : 20180819 ➡Berakhir : 20181227 ©dprvtfngrls.