Hmm

929 114 6
                                    

Votenya dulu yaa ☆

Menghabiskan waktu 15 menit berjalan dan nafas Bie sudah mulai ngos-ngosan.

"Nggak apa-apa, Bie. Anggap aja lo lagi olahraga sore. Oke semangat" Bie menyemangati dirinya sendiri sambil mengepalkan tangannya ke udara.

Dirga yang melihat dari kejauhan terkekeh dibuatnya. Dia tak menyangka jika ternyata Bintang itu benar-benar keras kepala.

Dengan terus mengikuti Bintang dari kejauhan, Dirga selalu memperhatikan tingkah konyol yang dibuat Bintang. Mungkin si empunya diri tak sadar jika dirinya sedari tadi diperhatikan.

Bie menatap ke sekelilingnya, begitu banyak kendaraan bermotor yang lewat tapi entah kenapa tal ada satupun angkutan umum yang lewat. Bie merasa bahwa dirinya benar-benar sial hari ini.

Seadainya makhluk bernama Dirga itu bukanlah orang yang harus dihindarinya, mungkin Bie akan mempertimbangkan ajakan untuk pulang bersama tadi. Ketimbang dirinya harus berakhir dengan berjalan kaki seperti ini.

Secercah harapan muncul ketika Bie melihat seseorang yang dia kenal berada di ujung jalan itu. Dia melihat Arief sedang membeli minuman ringan dan sebungkus rokok di toko kelontong.

"Owh, Ya Tuhan... ini kah bantuan yang Engkau berikan pada hamba ini?" Bie mempercepat langkahnya sebelum Arief pergi.

Tapi sebelum langkah kesepuluhnya, langkah Bie terhenti oleh seseorang. Dia Dirga yang menghambat laju kaki Bie dengan mencekal kakinya dengan ban sepeda motor.

Otomatis mata Bie molotot ke arah Dirga.

"Cepet naik!" Perintahnya.

Bie acuh dan mengambil jalan lain agar bisa lewat, toh jalan nggak cuman ini kan.

Dirga kesal dibuatnya, dia turun dari motor dan menarik lengan Bintang.

"Ayo aku antar!"

Bie enggan untuk berkata-kata, dia hanya menatap Dirga tajam dan menghempaskan tangan Dirga keras.

Seharusnya itu cukup bagi Dirga untuk tahu bahwa Bintang menolak. Tapi, kalau itu bagi orang normal mungkin iya. Ini tidak berlaku untuk Dirga.

"Aku bilang naik!"

Bie menghela nafasnya kasar. Dia benar-benar di uji kesabarannya.

"Lepas! Gue bisa pulang sendiri!"

Dirga tak menanggapi. Dia lebih memilih untuk menatap tajam pada Arief yang menyaksikan adegan ala sinetron mereka.

Seakan terhipnotis, Arief langsung menaiki motornya dan melaju kencang meninggalkan TKP.

Bie memejamkan matanya sejenak. Meringankan rasa kesal yang tiba-tiba menghimpit sesak dadanya. Tapi, ketika matanya terbuka sebuah kenyataan pahit hadir. Sosok Arief yang dianggap penolong oleh Bie sudah tak berada di tempatnya. Mata Bie kembali meredup dan kepalanya tertunduk lesu. Dia kehilangan harapan.

"Bagaimana? Mau aku antar?" Tawar Dirga dengan sebuah senyuman melengkung di bibirnya.

Bie mengangkat kepalanya dan menatap Dirga, "nggak!"

Bie melenggang pergi dari hadapan Dirga.

"Cewek tipe gue. Keras kepala" Dirga tersenyum miring.

.
.
.

"Assalamualaikum... ayah pulang"
Tak seperti biasa salam dari ayahnya hanya di jawab pelan oleh Bie. Dia hanya menoleh sekilas lalu kembali menyandarkan kepalanya pada punggung kursi sofa.

"Anak ayah kenapa, heem? Marah sama ayah?" Doni duduk tepat disamping Bie yang hanya meresponnya dengan gelengan kepala.

Doni menghela nafasnya, "maaf ya, sayang. Ayah hari ini harus lembur, jika boleh menolak pasti ayah akan lakukan tapi-" Doni tak melanjutkan kata-katanya saat kepala Bie berpindah ke bahunya.

Doni mengelus lembut rambut Bie dan ikut menyandarkan kepalanya pada Bie.

"Bie nggak marah kok sama ayah, cuman hari ini tuh hari yang berat buat Bie, yah. Ada banyak hal yang terjadi akhir-akhir diluar kebiasaan Bie dan jujur Bie nggak suka sama sekali" ungkapnya.

Doni kembali mengelus rambut Bie, "ini tentang Dirga?"

Bie mengangguk pelan.

Doni terkekeh pelan, "ini hal biasa yang terjadi pada anak gadis normal lainnya. Punya teman dan naksir-naksiran"

Bie tampak tak terima, dia mengangkat kepalanya dan menatap tajam ayahnya, "tapi Bie nggak suka kehidupan normal seperti itu yah. Bagi Bie itu yang terpenting jadi yang terbaik untuk ayah"

Doni hendak menjawab tapi dia dibungkam oleh Bie.

"Dan ayah segalanya, cinta Bie tak bisa dibagi"

Doni hanya tersenyum dan kembali menarik Bie kembali dalam pelukannya.

"Ayah tau ini hal yang baru bagimu, sayang tapi ini adalah proses. Semua orang melewati proses dalam hidupnya. Punya teman itu tak ada salahnya, apalagi teman dekat. Kalian bisa berbagi segalanya. Misalnya kalian bisa hang out atau curhat tentang masalah cewek yang tidak bisa kamu bahas dengan ayah"

"Bie nggak butuh semua itu. Bie hanya butuh ayah dalam hidup Bie. Ayah adalah teman dan sahabat bagi Bie, jadi Bie nggak butuh orang lain"

"Tapi kamu butuh teman hidup nantinya dan untuk memilih teman hidup kamu butuh proses"

"Nggak sekarang, yah. Itu masih lama. Ayah nggak usah memikirkan hal yang mungkin takkan terjadi"

Doni menghela nafasnya. Ini bukannya topik yang disenangi oleh Bie, dia tahu itu tapi dia juga harus berusaha untuk perlahan-lahan untuk merubah pola pikir Bie yang tidak biasa ini. Yah, mungkin tidak sekarang.

"Ayah, Bie laper" rengeknya manja.

Doni terkekeh, "akan ayah buatkan mie terenak" ucapnya lalu beranjak menuju dapur.

Bie bertepuk tangan bahagia dan dia berbalik untuk memperhatikan Doni yang sedang mulai memasak untuknya. Bie diam-diam tersenyum, baginya ayah adalah segalanya sekarang. Dia tak mau jika kehadiran orang lain dalam hidupnya akan merusak kebahagiaannya. Dia takut jika nanti dia kecewa dengan seseorang akan membuat ayahnya ikut bersedih dan Bie tak mau itu terjadi.
.
.
.

Holaa... maaf lamaaa baru bisa Update yaaa..
Akhir-akhir ini banyak yang terjadi dan itu membuat mood nulis rusak total..
Semoga kalian suka dengan part ini

Banjarbaru, 3 Sep 18

Bintangnya Angkasa (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang