CATATAN KOPI 7 : Keharusan mengikhlaskan

161 29 7
                                    

Disuatu tempat -

"Kok Ginan bisa kesini sih? Kak Nayla yang nyuruh dia dateng kan? Ngaku!" Ucap Wulan dengan nada yang sedikit meninggi.

"Kamu apa - apaan sih lan? Dia yang mampir sendiri kesini. Tadi kakak pulang, dan dia udah disini, ngobrol sama ayah. Kalo kamu ngga percaya, besok kamu tanya sama ayah" Nayla coba membela dirinya.

"Halah, aku ngga percaya sama kakak!"

"Kamu lagi kalut, jangan asal ngomong!" Nayla pun mulai terpancing emosi dan memilih masuk kedalam kamarnya.

Sedangkan Andre hanya bisa diam melihat pertikaian didepannya. Wulan pun coba menenangkan pikirannya. Ada sedikit penyesalan yang ia rasakan, dan airmatanya pun berjatuhan.

"Kamu kok malah nangis? Emang siapa laki - laki itu?" Andre bertanya sambil coba menenangkan Wulan.

Nayla sudah pergi beberapa menit yang lalu, tepat setelah bertengkar dengan Wulan. Pertanyaan Andre tak menemui jawaban, hanya tangisan yang terdengar. Andre pun membisu. Tak ada lagi dialog antara mereka.
Setelah bosan menunggu jawaban yang tak kunjung diucap, Andre memilih pamit pulang. Tinggalah Wulan sendiri, dibekukan rasa sesal yang teramat dalam.

"Aku harus menemuinya, dan menjelaskan semuanya pada Ginan" Begitulah kalimat yang ada dalam benaknya.

•••

Aku terbangun dari tidurku, segera kulihat jam dinding, pukul 09.00 pagi. Sekilas, terlintas kejadian semalam, aku hampir tak mengerti lagi. Hanya coba tabah dan mengikhlaskan, bahwa kenyataanya dia bukan siapa - siapa untukku. Kemudian aku beranjak dari tempatku, dan pergi untuk mandi. Setelah selesai mandi dan merapihkan diri, aku keluar untuk mencari sarapan. Tak butuh waktu lama, aku mendapatkan apa yang aku cari dan kembali kedalam kedai.
Aku tak lagi memikirkan tentang Wulan, meskipun sesekali ada dalam bayang - bayang.

Setelah selesai sarapan, aku memutuskan membuka kedai ini kembali. Mungkin akan kewalahan sebab sendirian, aku sengaja tak memberitahu Fira karena takut mengganggu masa liburnya. Kurapihkan meja dan kursi, membersihkan peralatan kopi yang sedikit berdebu hingga akhirnya semua rampung, kedai siap dibuka.
Sedikit sepi ketimbang beberapa waktu lalu, mungkin orang - orang berpikir kedai ini masih tutup, hanya ada beberapa orang asing yang datang. Memasuki tengah hari, pengunjung mulai ramai dengan orang - orang yang sudah kukenal, para pelanggan setia. Aku kerepotan sebab harus menjawab semua pertanyaan para pelangganku yang rindu akan kopi buatanku, dan yang keluar dari mulutku hanyalah "Hehe, iya maaf. Kemarin istirahat sebentar" hanya sebatas itu.
Suatu kebanggan tersendiri bisa menyaksikan wajah - wajah puas para penikmat kopi, senyum hangat para pelanggan yang membuatku semangat kembali. Aku sangat bersyukur sebab masih ada hal yang bisa kunikmati daripada larut dalam kesedihan yang tak pasti. Melayani orang - orang yang datang untuk mencicipi citarasa kopi, menjadi kegiatan yang sangat aku gemari. Menjadi seorang peramu kopi cukup membuatku senang, bukan perihal omset ataupun laba. Tapi tentang mereka, tentang senyum yang mengembang, tentang diskusi yang kian hangat, tentang canda-ria dan penuh tawa. Tentang orang - orang penasaran yang datang kesini, semua kebahagiaan mereka terrangkum didalam kedai ini.

Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 kurasa aku akan segera tutup, karena aku sudah cukup lapar dan tersisa beberapa orang yang ingin pergi dari kedai. Saat semuanya sudah pergi, aku membereskan semuanya dan menutup kedai sebentar, urusan perut tak bisa dihalangi lagi.

"Yap, pintu udah dikunci" Berbicara sendiri.

Kemudian aku melanjutkan langkah kaki ku menuju tempat makan yang menjadi langgananku, dan memesan beberapa lauk - pauk untuk kubawa pulang. Setelah selesai, aku kembali untuk mengambil barang - barangku yang masih ada didalam kedai, membereskan semua dan berencana segera pulang. Kemudian, langsung ku tutup pintu kedai. Saat ingin pulang, tiba - tiba ada mobil yang datang. Aku coba menerka - nerka siapa pemilik mobil itu, ternyata Wulan.

"Ginan.."

"Ada apa lagi lan?" Aku sedikit heran dengan kehadirannya.

"Saya kesini mau minta maaf sama kamu nan, saya nyesel. Maafin saya" Wulan pun menangis.

"Kenapa minta maaf? Ngga ada yang salah, selain saya. Saya yang terlalu berlebihan"

"Ginan.. Saya minta maaf nan" Sambil tetap menangis.

"Gapapa Wulan, anggap aja kemarin itu hadiah perkenalan kita, oke?"

"Ginan? Apa se-begitu salahnya saya ke kamu? Sampe sikap kamu kaya gini?"

"Kamu ngga salah, tenang aja. Yaudah, saya mau pulang ya" Kemudian aku pergi meninggalkannya.

Wulan mengejarku, menggapai tanganku dan menghentikan langkahku.

"Ada apa lagi? Saya mesti buru - buru lan"

"Saya sayang kamu Ginan.." Tangisnya meledak.

"Udah jangan nangis (mengusap air mata yang meleleh dipipi lembutnya) kita masih bisa jadi teman. Saya ikhlas kamu sama dia, semoga dia orang yang tepat buat kamu dan semoga dia ngga nyakitin kamu seperti yang kamu lakukan terhadap saya"

Wanita itu bernama Wulandari..
Bulan purnama arti namanya..
Atau bahkan se-anggun bidadari.
Wanita yang kuberi rasa
namun terbalas dusta
Kuberi percaya
Dibalas kecewa
Yang kupikir berbeda
Ternyata sama

(Wulan semakin menangis)
"Maafin saya nan, sa-ya.. saya selalu kesepian, saya ngga bisa hidup tanpa perhatian, saya ngga bisa hidup tanpa cinta, rasa kesepian lebih sakit dari apapun nan" Mencoba menjelaskan kepadaku.

"Lan? Ngga ada alasan yang membenarkan sebuah pengkhianatan"

(Wulan tak lagi berkata, terpaku karena perkataanku)

"Yaudah, saya mau pulang" Aku berjalan kearah sepeda motorku, dan pergi meninggalkannya sendirian.

Aku hanya bisa ikhlas menerima semuanya.

"Jika akhirnya tak berakhir bersama,
itu sudah cukup untukku,
Melihatmu bahagia bersama orang yang bukan aku,
Kurasa aku bisa menerimanya.
Keikhlasan yang membuatku tabah kehilanganmu.
Ya, sebab level tertinggi dalam mencinta ialah keikhlasan.
Setelah ini, mungkin aku akan terhakimi
oleh rindu,
oleh rasa yang semu,
yang terburu - buru.
Ini hanya perihal waktu "


*Mulai pada cerita ini, dan seterusnya. Cerita tak akan sebanyak kemarin, dan mungkin ada beberapa perbaikan supaya kalian semangat membaca lagi. Terimakasih~

Catatan Kopi In MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang