5

206 36 16
                                    

"MEN!!"*

.

Berakhir dengan sebuah pukulan telak tepat di atas kepalaku, suara ayunan pedang bambu miliknya memenuhi seisi Dojo. Satu serangan darinya sudah cukup untuk menghempaskanku ke atas lantai bahkan hentakannya masih menggetarkan helm pelindung yang aku kenakan.

"Ha! tampaknya perjalanan Anda masih panjang, Bocchan!" ujar kakek tua itu sembari menyandarkan pedang bambu di atas pundaknya.

"Ayunan Sensei saja yang terlalu kuat!" keluhku dan segera melepas pelindung kepala yang aku kenakan. Rasanya amat menyejukkan ketika angin datang dan menyapu peluh di wajahku.

"Tidak mungkin. Kalau bukan karena kemampuan Anda yang masih lemah, coba jelaskan mengapa Anda masih belum bisa menghindarinya?"

"Bukan salahku jika aku tidak dapat menghindarinya ...." gumamku dengan suara kecil sembari memalingkan muka. Namun, tampaknya pria tua itu mendengarku.

"Lalu, salah siapa?"

"...."

Spontan, aku melirik ke arah pria tua  yang sedang berdiri di hadapanku itu.

"...."

"...."

"... Rupanya, Anda masih kurang banyak berlatih, Bocchama," keluhnya sambil menekan pelipisnya yang berdenyut. "Baiklah! Kalau begitu kita ulangi sekali lagi!"

"Sekali lagi? Bagaimana kalau kita istirahat dulu, Sensei? Kita sudah berlatih sejak subuh dan sekarang sudah hampir siang!" keluhku dan menunjuk ke halaman luar Dojo yang semakin terpapar terik matahari.

"Tidak ada istirahat sampai Anda berhasil mengelak serangan barusan!" tegas kakek tua itu. "Sekarang, berdiri dan siapkan kuda-kudamu!"

"Ojii-chan!" protesku.

"Sensei," koreksinya sementara kedua matanya mengisyaratkanku untuk segera bangkit berdiri. Walau enggan, aku segera menuruti perintahnya dan kembali mengenakan helm pelindung sambil menyiapkan tubuhku yang sudah teramat lelah.

"Siap?" ucapnya memberi aba-aba dan aku pun mengencangkan genggaman pedang bambuku.

Namun, sungguh, adakah cara untuk menahan serangan beliau yang begitu cepat, tetapi kuat pada saat yang bersamaan?

"Mulai!!"

Secepat kilat, pria tua itu menyongsongku. Tak sempat aku berkedip, ia sudah berada di hadapanku dan mengayunkan pedang bambunya ke atasku. Namun, kali ini aku berhasil menahan serangannya dengan pedangku, walau aku nyaris terpukul mundur oleh kekuatan ayunannya.

Pria tua itu terus menghujaniku dengan ayunan pedangnya, membuatku tak mempunyai pilihan selain untuk tetap bertahan. Jika keadaannya tetap seperti ini, jangankan melancarkan serangan balik, aku akan lebih dulu kalah karena kehabisan tenaga. Oleh sebab itu, setelah berhasil menangkis serangannya, aku segera membuat jarak dari kakek tua tersebut.

 Napasku memburu. Tanganku gemetaran. Rupanya, sebutan 'petarung terkuat' yang disandangnya bukanlah omong kosong. Meski sudah melewati masa jayanya dan memiliki tubuh tua bangka seperti itu, beliau masih dapat bergerak dengan cepat dan menyerangku dengan akurat.

Serangannya yang kuat dan tajam itu sungguh mengingatkanku pada Mara yang aku temui di Hutan Putih, sosok beruang besar dengan cakarnya yang tajam.

"Fokus! Anda sedang melihat ke mana, Bocchan?!" Tiba-tiba saja, mata pedang bambunya sudah ada di hadapanku.

Gawat! Aku lupa kalau ini masih di tengah-tengah latihan!

White Forest (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang