12

111 26 6
                                    

Gadis itu terlihat muram.

.

Perlahan, wajah sang mentari mulai menghilang dari garis cakrawala. Kehangatan sinarnya segera meninggalkan bumi, digantikan oleh ribuan cahaya kecil yang kini menguasai langit. Sungguh, waktu berlalu begitu cepat, seolah tak memberi kami kesempatan hingga yang tersisa di penghujung senja ini hanyalah ... perpisahan.

"Sudah waktunya, ayo pulang," ajakku.

Namun, gadis itu menggelengkan kepala lalu meraih ujung lengan hakama milikku. "Bisakah ... bisakah kita bermain sedikit lebih lama lagi?"

Gadis itu menatapku lekat-lekat. Untuk pertama kalinya ia mengutarakan keegoisannya. Aku senang mendengarnya, tetapi tidak seharusnya ia memaksakan diri.

"Jangan khawatir, kita masih bisa bertemu besok. Masih ada beberapa hari lagi sebelum musim panas berakhir. Lagipula, akan sulit untuk keluar dari hutan ini tanpa ada cahaya yang menerangi," 

"... Aku mengerti. Hanya saja, di waktu yang tersisa sedikit ini, sebisa mungkin aku ingin menghabiskannya bersamamu," ucap gadis itu dan mempererat genggamannya.

"Apa boleh buat," ungkapku mengalah, "kalau begitu, kita pergi bermain di tepi hutan saja. Dengan begitu, kita bisa pulang lebih mudah dan cepat."

"Benarkah?" serunya gembira, "arigatou!"  Dan kedua manik gadis itu pun kembali berbinar-binar, diikuti senyum manis yang memenuhi wajahnya.

... Ah, andai hari-hari seperti ini dapat terus berlanjut.

Melintasi jalan setapak yang tertimbun dedaunan, kami kembali menelusuri hutan. Berjalan beriringan, kami bernyanyi bersama-sama, saling sahut-menyahut agar perjalanan kami terasa lebih menyenangkan. Bersama, setiap langkah terasa begitu ringan.

Saat itu, aku mengira hari ini akan menjadi hari-hari menyenangkan lainnya ... hingga aku merasakan sesuatu tengah mengintai kami.

Perasaan aneh apa ini? Dapat aku rasakan tatapan dingin yang menembusi kulitku. Tidak hanya itu, tebayang juga olehku suatu sosok yang sedang bersembunyi di balik kegelapan hutan. Dan pada saat itu juga, Rena tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Rena?" panggilku, "ada apa?"

Berdiri di sampingnya membuatku dapat melihat dengan jelas wajahnya yang memucat. Gadis itu memejamkan mata dan menutup kedua telinganya. Tubuhnya terus gemetaran tanpa henti. Ada yang tidak beres.

Siaga, aku mempertajam seluruh inderaku dan mengedarkan pandangan. Hutan Putih tampak begitu sunyi. Keheningan yang mencengkram bagai balok es yang berselancar di atas kulit ini agaknya berbeda dari keheningan yang dibuat para penghuni hutan untuk mendengarkan senandung seorang anak manusia.

"Ah!" Sontak, Rena menutup mulutnya.

Di tengah-tengah kesunyian itu, suara gemerisik yang berasal dari semak-semak di belakang kami menjadi semakin jelas. Suara gesekan dedaunan itu terdengar berulang kali seakan mengundang kami untuk mendekatinya.

Saat aku hendak berbalik untuk memeriksa sumber suara itu, Rena segera menghentikanku. Kedua tangannya menggengam erat pergelangan tanganku.

"H-hei," panggilnya gugup, "bagaimana kalau saat ini kita ke tempat itu?"

Tempat yang ia maksud adalah lokasi mata air Hutan Putih atau dengan kata lain,  kediaman Dewa Putih dalam legenda yang pernah ia ceritakan.

"Eh? Bukankah itu berlawanan dengan jalan pulang kita?"

"Tidak apa-apa! Kita harus pergi saat ini juga!" desaknya dan tangannya yang gemetaran itu semakin menggenggamku erat.

Mendadak, suara gemerisik itu mengeras, membuat tubuh gadis itu melonjak. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Rena segera menarikku untuk mulai berlari dan menjauh dari semak-semak di belakang kami.

White Forest (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang