8

162 34 11
                                    

Gelap ....

.

Seakan menutup mata, aku tidak dapat melihat apa pun. Semua tampak lenyap, tertelan dalam bayang-bayang hitam.

Di dalam kesunyian ini, hanya angin yang datang menghampiriku, membawa aroma pohon cedar yang tumbuh di halaman belakang. Namun, di balik ketenangan ini, sesungguhnya sesuatu tengah mengincarku.

... Apa itu?

Suara derit kayu seketika menarik perhatianku, menjadikan gemuruh dalam diriku kian mengeras. Berkali-kali aku menolehkan kepalaku, mencari sumber suara tersebut. Akan tetapi, dengan cepat suara itu menghilang, lenyap dalam kegelapan.

Aku menegak ludah dan kembali mengeratkan genggamanku pada satu-satunya pedang bambu yang ada di tanganku.

Meski terdengar lemah, kutahu sesuatu sedang begerak--bahkan sepintas, sosoknya lewat di hadapanku. Tak henti-henti, sosok itu terus berpindah tempat, mencoba untuk mengecohku.

... Di mana?

Aku berusaha menenangkan pikiranku, mencoba menebak gerak-geriknya. Akan tetapi, decitan-decitan kecil yang terdengar beruntun itu semakin membuatku panik, terlebih datangnya dari segala arah.

... Depan? Belakang? 

Aku terus menerus memutar tubuhku mengikuti arah suara decitan-decitan itu.

"Atas!"

Spontan, aku mengayunkan pedangku untuk melindungi kepalaku. Akan tetapi, bersamaan dengan suara hentakan yang keras, rasa nyeri justru mengalir kuat di punggungku, menekanku hingga jatuh ke lantai.

"Sial!" umpatku kemudian melepaskan kain pengikat yang menutupi kedua mataku. "Sensei, kenapa mengatakan 'atas' bila menyerangku dari belakang?!" keluhku.

"Apakah Anda pikir lawan akan memberitahukan posisinya?" balas pria itu dengan sebilah pedang bambu yang telah diistirahatkan pada pundaknya.

Aku menarik lidahku, tak dapat membantah perkataannya.

"Fokus! Jangan biarkan hal-hal kecil seperti ini mengalihkan perhatian Anda!" ucapnya. "Sekarang, kita ulangi sekali lagi!"

Kesal, aku kembali mengenakan kain penutup mata itu dan mengikatnya dengan erat. Segera setelah bangkit berdiri, aku memasang kuda-kuda dan bersiap.

"Kita mulai lagi!" serunya. "Sekarang, belakang!"

"Belakang?!" Aku memutar tubuhku ke belakang. Namun, sekali lagi rasa nyeri datang menghantam punggungku, membuatku mengerang kesakitan. Sial, kakek tua itu menjebakku lagi!

Sejak awal, kakek tua itu sama sekali tidak berpindah tempat. Jadi, ketika aku berhasil dikecohnya dan menghadap ke belakang, beliau langsung menyerang punggungku yang terbuka di hadapannya.

"Sekali lagi!" perintah sang guru dan menghentakkan mata pedangnya ke lantai.

"Baik!" balasku dan kembali bersiap.

Latihan itu pun akhirnya berlangsung berulang kali. Serangan demi serangan datang secara bergantian tanpa satu pun dapat berhasil aku hindari.

"MEN!!" Sekali lagi, aku dihempaskannya ke lantai. Ayunan pedang bambu kakek tua itu bahkan menjadi lebih berat dari sebelumnya. Namun, ini pertama kalinya aku melihat beliau kewalahan ketika melakukan latihan bersama.

"Baik, sudah cukup untuk hari ini!" seru kakek tua itu dan mengakhirnya dengan menyapu peluh di wajahnya.

Tidak lagi mampu bangkit, aku kemudian merebahkan tubuhku di atas lantai kayu yang menutupi seluruh Dojo. Kesejukan lantai kayu itu seketika merambat pada kulitku yang kemerahan. Namun, ini masih belum cukup untuk meredakan rasa sakit di sekujur tubuhku.

White Forest (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang