Andai aku dapat menghentikan gemuruh dalam diriku saat ini ....
.
Aroma teh yang melekat pada ruangan beralaskan tatami ini sama sekali tidak membuatku tenang. Namun, tidak banyak yang dapat aku lakukan untuk mengelaknya. Bahkan, ketika wanita cantik di hadapanku itu duduk dengan postur seiza--hatiku melonjak tak karuan.
Saat ini, bukan lagi sercangkir teh yang menemani percakapan kami, melainkan sepasang koto yang terbaring saling berhadapan. Masing-masing dari kami, aku dan Okaa-san berada di belakangnya--siap memainkannya.
Anggun, Okaa-san menyapukan jemarinya ke atas senar-senar yang berjejer dengan rapi. Ketika hatinya siap, ia pun mulai memetiknya dengan lembut.
Tang ....
Satu nada darinya sudah cukup untuk membuatku tertegun, cukup untuk menunjukkan seberapa besar perbedaan kemampuan kami. Sungguh, bagaimana bisa nada yang dihasilkannya terdengar begitu jernih? Seolah setiap petikannya memiliki makna.
Perlahan, nada demi nada saling terangkai membentuk alunan indah yang segera menyeretku masuk ke dalam permainannya. Seolah kesesakan di malam hari, alunan tersebut sarat akan kesedihan yang kemudian berakhir dalam ketiadaan.
Itulah yang aku rasakan dari permainannya, tetapi kutahu ... semua ini belum berakhir.
Aku memalingkan wajahku dari permainan Okaa-san, kembali menunduk pada ketiga belas senar panjang yang berada dekat dengan pangkuanku.
Sekarang, giliranku.
Setelah empat ketukan hening yang mengakhiri solonya, perlahan, aku menyentuhkan jariku ke atas senar, membawa permainan yang jauh berbeda darinya.
Menggunakan nada yang melompat-lompat, aku mencoba mengubah dinginnya malam menjadi pagi yang penuh kehangatan. Tak lupa, aku menambahkan trik kecil dengan permainan petikan-petikan cepat seakan hendak menghadirkan kicauan burung-burung manis yang menyambut kedatangan sang surya.
Namun, semuanya berbalik cepat ketika Okaa-san kembali manyapukan jemarinya di atas koto miliknya. Malam dengan cepat kembali menyergap dan menelanku bulat-bulat.
Tiada henti, suara kami saling beradu, saling menginterupsi satu sama lain. Akan tetapi, saat itulah, suara kami mulai bertaut dan menghasilkan alunan baru yang melebur semua perbedaan.
Ketika mendekati puncaknya, tempo berubah menjadi cepat. Petikan demi petikan kian memburu--dan yang benar saja! aku hampir tak dapat mengimbangi permainan Okaa-san!
... Tang!
Satu petikan keras menjadi penutup permainan kami berdua. Satu nada yang amat kuat, yang kemudian lenyap dalam kesunyian ....
Jantungku berdebar kencang. Walau permainan telah berakhir, jari-jariku masih saja gemetaran. Ketika aku melepaskan pandanganku dari koto yang aku mainkan, senyumnya menyambutku.
"Permainanmu semakin bagus."
"Arigatou, Okaa-san. Walau aku rasa ... masih jauh dari permainan Okaa-san."
"Tidak perlu terburu-buru. Tidak sepertiku, kamu masih muda. Kamu masih memiliki banyak kesempatan untuk berlatih dan menjadi lebih baik," ungkapnya dan mengajakku untuk lebih menikmati sebuah permainan alat petik yang berada di hadapan kami.
"Sebenarnya, bermain alat musik seperti ini juga bisa menjadi bentuk latihan. Konsentrasi kuat sangat dibutuhan untuk menjaga irama permainan sambil tetap menghasilkan suara yang konstan. Intinya, bukan hanya kemampuan fisik saja yang kita latih, tetapi juga pikiran kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
White Forest (END)
Fantasy"Tahukah kamu kenapa hutan ini disebut sebagai 'Hutan Putih'?" . Kisah yang hampir terlupakan itu muncul di dalam ingatanku seolah-olah memberitahuku hal penting apa yang terlewatkan olehku ... dan kini saatnya aku mendapatkannya kembali! ...