15

103 21 33
                                    

Akan seperti apa hari-hariku seandainya kita tidak pernah bertemu?

.

Delapan tahun lalu ....

Di suatu siang yang damai dan tenang, ketika angin hangat seharusnya membawanya beralun, seorang gadis kecil tampak sedang berlari dengan tergesa-gesa. Napasnya kian memburu. Namun, senyum tetap terpancar di wajahnya.

Melewati jalan-jalan sempit nan teduh, ia melesat jauh dengan memikul sebuah keranjang besar di punggungnya. Meski berat, tak sekalipun gadis itu berhenti untuk bersitirahat. Saat ini, ia hanya memikirkan bagaimana caranya agar dapat pulang lebih cepat.

Setibanya di belakang rumah, ia mendorong gerbang kayu yang membatasi pekarangan rumah dengan jalanan. Derit kasar terdengar seketika gerbang itu terbuka, menunjukkan betapa usangnya benda tersebut. 

Di halaman belakang rumah, ia melihat kakak perempuannya sedang menumbuk di depan palungan yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya.

"Tadaima!" (I'm home!) Semua sudah aku keringkan, nee-chan!" 

Tanpa mengelap peluh di wajahnya, ia segera menurunkan sekeranjang penuh tanaman obat yang telah dijemurnya di bawah terik matahari. Betapa tidak pundaknya terasa ringan seketika keranjang itu lepas dari tubuhnya.

"Okaeri!" (welcome back!) balas sang kakak dan meninggalkan semua kesibukannya hanya untuk pergi mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut.

"Ne, pekerjaan hari ini sudah selesai, bukan? Kalau begitu aku–"

"Eits! Tidak secepat itu!" Cepat, sang kakak meraih lengan sang adik, mencegahnya melarikan diri. "Memang pekerjaan hari ini sudah selesai. Akan tetapi, bukankah sudah saatnya aku tahu ke mana kamu menghilang belakangan ini?"

"Aaaah ... kalau itu ...." ia menegak ludah, kedua bola matanya jelas-jelas menghindari tatapan tajam sang kakak. "A-aku hanya pergi bermain dengan teman-teman di pinggir desa."

Tubuhnya gemetar. Wajahnya terus menunduk walau tak ada gravitasi yang menariknya. Gadis itu berusaha melepaskan dirinya dari cengkraman sang kakak, tetapi sia-sia, tangan itu tetap menggengamnya erat.

"... Tahukah kamu? Kebohonganmu itu tidak akan pernah berhasil." Seakan buku yang terbuka lebar, kakaknya itu selalu berhasil membaca pikirannya. "Aku akan membiarkanmu pergi jika kamu memberitahuku yang sebenarnya," tegasnya.

Gadis itu tersentak. Ia tidak menyangka sang kakak akan menginterogasinya. Segera, gadis itu memutar otak, mencari jawaban yang bisa ia gunakan. Namun, sayang, tak satu pun alasan muncul di dalam pikirannya.

"... Jangan bilang, kamu pergi ke Hutan Putih lagi?"

Tubuhnya melonjak. "A-aku tidak mengerti apa yang kamu katakan, nee-chan," ungkapnya semakin gugup. Rupanya, kata-kata sang kakak tepat sasaran.

Menghela napas panjang, kakak perempuannya itu hanya bisa menggelengkan kepala. Bertahun-tahun tinggal di bawah atap yang sama telah membuatnya hapal akan seluruh tindak tanduk sang adik. "Sungguh, kamu tidak akan pernah bisa membohongiku," ucapnya.

Terkuak sudah semuanya.

"Nee-chan ...." pinta gadis kecil itu sambil memandang kakaknya dengan mata berkaca-kaca, "kali ini saja, biarkan aku pergi, ya?"

Matanya terus menatap lekat pada sang kakak hingga perlahan, ia berhasil membuat sang kakak mundur selangkah.

Meski tahu tidak seharusnya ia terbawa dalam kepalsuan itu, sang kakak akhirnya melonggarkan cengkramannya sebagai bentuk kekalahannya.

White Forest (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang