13

96 24 16
                                    

Hal yang paling aku ingat setiap kali berada di dalam hutan ini adalah ... aku harus berlari!!

.

"GROAAARR!!"

Raungan kasar itu semakin mendekat. Manik semerah darah itu senantiasa menghantui langkahku. Lajuku perlahan mulai melambat dan seketika itu juga, makhluk tersebut memperkecil jarak dan melayangkan cakarnya ke arahku.

Sambil menghindari serangannya, aku mencari celah untuk menyentuh kembali kertas mantra pada tubuhnya dengan tanganku berlumuran darah. Berkatnya, ribuan benang merah sekali lagi muncul dari kertas-kertas mantra tersebut lalu menjeratnya.

"Lihat! Kau tak akan bisa menangkapku!" ejekku. Tidak seharusnya aku menuang minyak ke dalam api dan membuat amarahnya semakin meledak-ledak. Namun, aku harus melakukannya untuk terus menarik perhatian serigala tersebut.

Makhluk itu menggeram. Ia sibuk menggigiti benang-benang yang menjerat tubuhnya. Lantas, aku menggunakan kesempatan ini untuk bergegas menjauh darinya.

Jantungku kembali berpacu. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana harus mengulur waktu. Sebentar lagi, tubuhku akan mencapai batasnya dan aku sudah tidak dapat lagi mengandalkan kertas-kertas mantra tersebut. Sering waktu, kekuatan kertas mantra itu semakin melemah, terlihat dari bagaimana serigala itu semakin cepat membebaskan dirinya.

Sebentar saja aku berpaling, serigala itu sudah berada di belakangku dengan mulutnya yang setengah terbuka dan berbalutkan kertas-kertas mantra. Aku sudah tidak lagi sanggup untuk menambah kecepatan. Akhirnya, serigala itu berhasil mendahuluiku dan memotong lajuku.

Hanya sesaat serigala itu berada di hadapanku. Menggunakan batang-batang pohon seperti papan loncat, serigala itu berpindah-pindah dengan cepat, membuat sosoknya sulit ditangkap.

Serigala itu begitu cerdik. Ia bergerak dengan cepat agar aku tidak dapat menyentuh kertas mantra di tubuhnya dan mengaktifkannya. Demikian, benang-benang merah itu tak lagi dapat muncul untuk menjeratnya. Tindakannya saat ini benar-benar menyudutkanku.

Sedikit demi sedikit, cakarnya menorehkan luka pada tubuhku. Makhluk itu tampak menikmati erangan-erangan kecil yang keluar dari mulutku. Rupanya, ia berniat menghabisiku perlahan-lahan. Sekarang, aku tahu mengapa kepala Kagemiya yang tersohor itu bisa kesulitan dalam menaklukkannya.

Gerakannya sulit diprediksi, menyulitkanku untuk dapat menghindari setiap serangannya. Aku meringis setiap kali cakarnya semakin dalam menorehkan luka pada tubuhku. Namun, siapa sangka, situasi ini malah mengingatkanku akan latihan yang aku terima dari seorang kakek tua.

Segera, aku memejamkan kedua mataku dan ... menunggu.

Serangan demi serangan kembali terarah ke arahku. Luka-luka baru terus bermunculan pada tubuku berikut rasa nyeri yang kemudian mengikuti. Namun, aku sama sekali tak mengerang kesakitan. Walau tak melawan, aku menolak untuk menyerah.

... Sedikit lagi!

Setiap cakar yang menggores kulitku, setiap hembusan angin yang terasa di kulitku, aku mencoba untuk menerka posisi serigala tersebut.

"Kanan!"

Tepat seperti dugaanku, sebuah cakar datang menyambar dari arah kanan. Berkatnya, untuk pertama kali, akhirnya aku berhasil menghindari seragannya.

Seketika, ritme gerakan yang dibangun makhluk itu runtuh. Gerakannya menjadi lambat dan mudah terlihat hingga tanpa sadar, ia menunjukkan bagian tubuhnya yang tidak memiliki pertahanan. Tak menyia-nyiakan kesempatan ini, aku pun melancarkan serangan balasan.

Segera, aku menarik sebuah pedang pendek yang tersembunyi di balik hakama milikku. Aku sengaja tidak menggunakannya dari awal untuk membuat makhluk itu lengah. Saat kesempatan menyerang datang, barulah aku menggunakannya.

White Forest (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang