Bab 7 Sulitnya Sebuah Pilihan

2.4K 37 2
                                    

VIOLET

Part 7

SULITNYA SEBUAH PILIHAN

Oleh : Triana Kumalasari

"Ada apaan, Mas?" Violet mendengar Reza berbisik.

"Nggak tahu. Tadi Ayah ngajakin ke sini." Yudha balas berbisik, sambil mengangkat kursi makan, membawanya ke ruang tamu.

"Weekend ini Yudha pulang, kebetulan Rosa juga pulang. Mumpung lagi pada ngumpul semua, Papa dan Om Hermanto ingin memberitahukan sesuatu," ucap Papa. Beliau mengalihkan pandangan pada Om Hermanto yang memberikan anggukan.

"Jadi, kami ingin bicara tentang Yudha dan Violet."

Yudha, Violet dan si kembar saling bertukar pandang.

Ada apa gerangan?

Sedangkan di kursinya, Rosa duduk terpaku. Menatap Papa. Ada gurat kecemasan di matanya.

"Jadi, dulu, saat Mama Violet masih di sini, Papa, Mama, Ayah Yudha dan Bunda Yudha berencana untuk berbesan." Papa membuka pembicaraan.

Yudha, Violet dan si kembar tertegun. Terkejut. Rosa mengatupkan bibirnya, tampak resah.

"Mama Vio dan Bunda Yudha bersahabat saat SMA. Mereka di SMA 1, seperti kalian." Papa tersenyum pada Violet dan Yudha. Namun, tak ada yang membalas senyum beliau. Masih syok.

"Sedangkan Gunadi, Papa Vio, junior Om di SMA 3. Kami sama-sama di kelompok pencinta alam." Ayah Yudha ikut angkat bicara, menyambung penjelasan Papa. "Waktu menikah dan bertetangga, kami ke mana-mana berempat."

Tetangga rasa saudara, batin Vio.

"Jadi, maksudnya, Mas Yudha dan Mbak Vio sudah dijodohkan sejak kecil?" tanya Rena.

"Sejak Vio belum lahir, malah." Papa tertawa. "Saat tahu bahwa calon bayi kami perempuan, kami berempat berencana untuk menjodohkan anak-anak kami. Yudha lucu banget dulu. Bayi cowok gendut." Papa menoleh pada Yudha. "Sekarang udah dewasa. Ganteng pula." Masih memandang Yudha. Yang dipandang tersenyum rikuh.

"Tapi ini bukan jaman Siti Nurbaya, kan? Jadi, kalau kalian punya pilihan lain, tentu boleh. Orang tua hanya mengarahkan, karena sudah tahu keluarga masing-masing, lebih enak. Kebetulan, kami melihat bahwa baik Yudha maupun Violet tidak memiliki pacar." Papa menjelaskan.

"Yudha sudah bekerja dan kalian sudah cukup umur untuk menikah. Yudha dua puluh lima. Kalau Vio dua puluh empat, kan, ya? Kami hanya punya satu putra, kadang sepi. Lucu mungkin ya, kalau nanti punya cucu. Ya, nggak, Bun?" Om Hermanto menoleh pada Tante Arista. Disambut oleh senyum manis sang istri.

Violet langsung pucat.
Astaga! Cucu apa, nih?

🌸🌸🌸

"Kenapa Papa nggak bilang sebelumnya? Kenapa tiba-tiba?" protes Violet, membuntuti Papa masuk ke ruang baca. Sebuah ruang kecil yang berisi dua lemari penuh buku dan sepasang meja dan kursi.

"Kemarin-kemarin kan Violet belum cukup umur," kilah Papa.

"Vio kan masih mau cari kerja, Pa."

"Cari kerjanya bisa dilanjutkan setelah menikah, kalau Yudha membolehkan."

"Pa...." Violet cemberut.

"Kalau Vio ingin menolak pernikahan ini, tentu boleh," ucap Papa, sambil duduk di satu-satunya kursi di ruangan itu. "Tapi, Vi, Papa memutuskan ini, karena Papa mengkhawatirkan Vio."

Violet menatap Papa. Sesuatu terlintas di pikirannya. "Apa ini karena aku belum juga diterima kerja, Pa?"

"Hmm, termasuk." Papa mengakui. "Sebenarnya, Papa akan memberi tahu bila Vio sudah selesai dengan urusan pekerjaan. Namun, ternyata Qadarullah belum selesai juga hingga hampir setahun ini. Papa khawatir padamu, Vi. Bila Yudha menjaga Vio, Papa akan lebih tenang."

VIOLET (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang