VIOLET
Part 9A
PENGGANTI?
Oleh : Triana Kumalasari
Selasa malam.
Rintik hujan jatuh membasahi jendela kereta. Menambah dinginnya gerbong yang sudah ber-AC. Lokomotif menarik kereta itu berlari ke Jakarta.
Violet menatap gelapnya malam di luar sana. Ponsel tergenggam di tangan kanannya.
Masih untung Papa mau memberinya uang untuk membeli tiket kereta, mengingat betapa beliau sangat kecewa terhadap keputusannya. Papa tak banyak bicara saat melepas kepergian Violet dan tidak pula mengantar ke stasiun.
Reza yang tadi sore mengantarnya ke stasiun dengan wajah muram. Meskipun tampak jelas bahwa ia tidak setuju dengan keputusan Violet, tetapi adik laki-lakinya yang bertubuh subur itu memilih untuk tidak banyak bicara.
"Mbak Vio yakin, Mbak?" Hanya itu. Dan kemudian, Reza memilih untuk diam di sepanjang jalan.
Renalah yang tadi siang terus menerus membuntuti Violet dengan segala protesnya. Kembaran Reza ini benar-benar kecewa.
"Enggak bisa begitu dong, Mbak Vi. Kan semua udah disiapin. Mana bisa dibatalin gitu aja? Terus, Mas Yudha gimana? Mbak Vio jahatin Mas Yudha dong kalau gini." Rena terus ribut sambil mengikuti Violet mondar-mandir mengemasi barangnya. "Apa ini nggak egois, Mbak?"
Iya, Ren. Ini egois. Aku juga tahu itu, bisik batin Violet. Namun, bolehkah aku bersikap egois, untuk sekali ini saja?
Violet memandang ponsel yang sejak tadi digenggamnya. Sepi. Tak ada pesan masuk dari Rena, Reza ataupun ... Yudha.
[Mas Yudha, aku berangkat.]
Itu bunyi pesan yang ia kirim saat kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun Malang sore tadi. Centang dua dan berwarna biru. Berarti sudah dibaca.
Namun, tak ada balasan.
Violet menempelkan keningnya ke kaca jendela. Dingin. Mengamati air hujan yang turun membentuk aliran kecil.
🌸🌸🌸
Rabu pagi yang cerah.
Di luar jendela, aktivitas penduduk terlihat jelas. Lalu lintas mulai tampak ramai dengan barisan motor dan mobil yang berhenti di depan palang rel kereta.
Violet memeriksa ponselnya.
Nihil.
Sepi.
Kereta api itu melaju kencang, sementara Violet meringkuk di balik selimut abu-abu.
Sebenarnya, udara telah mulai panas. Dinginnya AC sudah terasa sangat berkurang. Mungkin ... hati Violetlah yang sedang menggigil.
🌸🌸🌸
"Violet!" Bude Wati menyambutnya dengan tangan terentang lebar. Agak tertatih menghampirinya, lalu memeluknya erat. "Makin cantik aja anak Bude. Sudah makan belum, Nduk?"
Iya, Bude Wati berasal dari Jawa. Kediri, tepatnya. Dulu, saat masih muda, Bude merantau ikut majikannya ke Tangerang. Lalu bertemu Pak De dan menikah. Kini, beliau sudah sepuluh tahun menjanda, sejak Pakde meninggal dunia.
Tidak adanya momongan membuat mereka berdua, terutama Bude, merasa senang saat Mama setiap hari menitipkan Violet kecil untuk diasuh, bila Mama ke kantor.
"Sudah, Bude. Di kereta."
"Itu kan sarapan, ya? Makan siang belum? Ayo, sini. Bude udah masak sayur asem sama ikan asin." Bude Wati menggiring Violet ke meja makan sederhana yang di atasnya sudah terhidang makanan hangat yang menggugah selera.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLET (SUDAH TERBIT)
Любовные романыBLURB VIOLET Ambisi yang terpantik dari sulitnya hidup yang pernah ia jalani bersama sang mama pasca mamanya kehilangan pekerjaan, membuat Violet memutuskan berdiam dalam keluarga tiri. Demi kesuksesan akademis, karier dan materi. Namun, di saat ia...