13. Brother and Sister

577 57 1
                                    

Rasel sudah lebih tenang sejak satu jam yang lalu. Kini dirinya berada di ruang bersantai lantai dua. Mungkin sang ibu sudah berkutat dengan tugas kerjanya. Dafi yang sedaritadi menemani Rasel sampai gadis itu berhenti menangis sekarang sudah menatap Rasel, seperti meminta gadis itu menjelaskan sesuatu padanya.

"Udah enakan?" tanya Dafi.

"Udah."

"Mau cerita?" Rasel terdiam beberapa saat, tapi ia akhirnya menghela napas dan mulai bercerita.

"Papi sama Mami cerai, sejak aku aku SMP. Papi pindah lagi ke Seoul bawa dua adik aku, Daf. Papi ninggalin aku sama Mami di sini. Aku nggak ngerti apa masalahnya. Tapi aku mulai merasa sesuatu menghilang sejak saat itu. Mami emang selalu perhatian sama aku walau cuma lewat telepon dan pesan, aku nggak masalah. Tapi setidaknya, Mami seharusnya ada sedikit waktu untuk aku, Daf." Rasel mengelap air matanya. Walau sesak di dadanya masih terasa, tapi gadis itu berusaha tersenyum.

"Gue, gue paham kok gimana rasanya. Mungkin semua butuh waktu. Waktu di mana kalau Mami lo bakal menyadari, keluarga adalah segalanya."

"Iya Daf, makasi ya udah jadi tempat aku menumpahkan semuanya. Selama ini, bahkan ketiga sahabat aku pun nggak tau masalah ini."

"Iya sama-sama. Ya udah, sekarang lo tidur duluan, gue tungguin sampe tidur." Dafi memberikan senyum terbaiknya, dan itu membuat Rasel semakin tenang.

>><<

Pukul 23:59

Rasel terbangun dari tidurnya dan menyadari ia sudah berada di kamarnya dengan memakai piyama yang berbeda. Ia cukup yakin kalau ini ganti oleh salah satu pelayan wanitanya, Dafi tidak mungkin berani melakukannya.

Rasel meraih ponselnya, yang ternyata mati. Ia menyalakan lampu kamarnya dan mengisi daya ponselnya. Rasel merasa haus, ia memutuskan untuk mengambil minum ke bawah, sepertinya pembantunya lupa meletakkan minum di kamarnya.

Lantai atas benar-benar hening. Seperti tidak ada kehidupan. Rasel bahkan tidak mendengar suara apa pun, ia berjalan pelan menuju tangga.

Kening Rasel mengerut melihat lantai bawah yang gelap total. Ia takut untuk ke bawah, tapi tenggorokannya meminta air. Dengan keberanian yang sebenarnya tidak ada, Rasel menyalakan lampu.

Mata Rasel melebar kaget saat melihat ruang keluarga disulap banyak hiasan. Lantainya pun penuh dengan balon.

"Happy birthday, Sweety." Calarissa tersenyum cerah sambil memegang kotak besar di tangannya.

"Happy sweet seventeen, Kak Rasel!" Guan sangat semangat sekali, ia meledakan sebuah balon.

Di sana, ada Dafi yang memegang kue, dengan senyum indah di wajahnya. Ketiga sahabatnya yang membawa beberapa hadiah, juga beberapa pembantunya yang bertepuk tangan, dan mulai menyanyikan lagu.

Guan menarik Rasel yang masih mematung, ke depan Dafi. Rasel menatap Dafi dengan tatapan tak percaya, sedangkan Dafi mulai tersenyum tipis.

"Tiup lilinnya ... tiup lilinnya ... tiup liup lilinya sekarang juga ... sekarang juga ..."

"Fuuh."

"Yeeey!"

"Potong potong!"

"Kue pertama buat gue ya, Rasel!" pekik Lysa.

Rasel tertawa kecil, ia memotong sedikit kuenya, dan mengambilnya dengan sendok yang sudah tersedia. Lalu, menyodorkannya pada sang ibunda.

"Maaf ya sayang, Mami sibuk seminggu ini. Tapi ini semua rencana temen-temen kamu," bisik Calarissa, yang langsung saja direspon Rasel dengan pelototan kepada ketiga sahabatnya.

Betting On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang