3. First Try

806 70 0
                                    

Dafi jelas-jelas tahu wajah itu. Wajah gadis yang dengan ugal-ugalan mengendarai mobilnya di pagi harinya yang damai. Lalu berteriak ke arahnya karena kesalahan gadis itu sendiri.

Dafi juga saat ini sudah mendengar jelas, teman-temannya seketika membahas gadis itu setelah bertemu dengannya tadi di koridor. Ralat, setelah membuat sedikit insiden dan lagi-lagi gadis itu berteriak kepadanya—membuat banyak pasang mata penasaran menatap ke arah mereka.

Bagaimana tidak penasaran? Seorang Rasela Calandra dengan antek-anteknya berurusan dengan si Dafi Arsa Pradana—pria cerdas, kalem, jutek, dan sedingin kutub utara itu— dan teman seperkalemannya.

Ya, walau satu menit kemudian setelah bersitatap dengan gadis-gadis cantik kelas atas tadi, semua mulut teman seperkaleman Dafi itu tidak berhenti bicara.

Seperti Ezar saat ini. "Bro, yang pake jepit rambut, cakep ya," ucapnya pada Jero dan Wirga.

"Jepit rambut? Ah, cakepan yang rambutnya diiket itu, lucu kayak adek gue," timpal Jero.

"Kok adek doang, bro? Nggak mau dijadiin girlfriend?" kata Ezar lagi. Wirga masih menyimak apa yang sedang mereka bicarakan.

"Sebentar-sebentar. Kenapa kalian malah bicarain temennya? Kita kan lagi bahas Rasela. Cewek cantik seantreo PIS."

"Cantik? Idih, aur-auran gitu tampangnya," timpal Dafi tanpa sadar saking kesalnya.

"Bro, seorang Dafi Arsa Pradana mengumpat untuk yang pertama kalinya! Ajaib, bro!" Ezar sudah lompat-lompat tidak jelas sedangkan Jero menatap Dafi berbinar.

"Gila! Dafi bro, Dafi! Baru aja kesel karena seorang cewek?!" Wirga ikutan heboh.

"Syut-syut-syuuuttt ... Itu tuh, cewek yang ketumpahan es krim tadi, kan? Dia jalan mendekat, bro!" pekik Jero.

Dafi yang sedang santai menyantap roti bakarnya harus memecah atensinya. Antara roti dengan isi cokelat kesukaannya, atau gadis dengan wajah lesu menghampiri meja mereka.

Begitu tiba di meja kantin yang ditempati Dafi dan kawan-kawab, Rasel membuka suaranya pelan. "Da—Dafi ..."

Yang punya nama masih fokus makan. Sedang tiga temannya saling tatap dan menyikut seakan memberi kode.

"Bro, kita duluan deh ya ke parkiran."

"Gue juga." Dafi hendak bangkit. Tapi Rasel segera menghadang jalannya. Ketiga temannya itu segera berjalan cepat meninggalkan mereka.

"Mau gue tabrak lagi? Yang tadi belum cukup ya? Nanti lo marah-marah la—"

"Maaf," ucap Rasel cepat.

Dafi berdecih sinis. "Lo nggak masuk kelas kepribadian, ya? Seenaknya memotong ucapan orang," sarkas Dafi.

Rasel hanya mendunduk, ekspresinya berubah mendengar Dafi mengejeknya.

"Maaf kalau gue bersikap bar-bar dan menyedihkan kayak gini. Tapi gue mau minta maaf." Rasel mendongak, memberanikan diri menatap kilatan tajam di mata Dafi.

"Gue maafin. Minggir."

Rasel masih enggan menyingkir dari hadapan Dafi, karena ia masih terkejut dan belum mencerna seutuhnya apa yang terjadi.

"Ck!" Akhirnya Dafi berinisiatif melewati gadis dengan sedikit mendorongnya menjauh.

Setelah Dafi menghilang dari hadapan Rasel. Gadis itu kembali mendongak. Ia menyadari sesuatu.

Dafi sangat menyebalkan!

"Oh my gosh! Gila ya itu cowok, nyebelin banget. Heh, denger yang Dafi Arsa Prambanan! gue juga sebenarnya ogah ngelakuin ini semua kalau bukan karena Amsterdam!" pekik Rasel pelan setelah Dafi tak terlihat. Ia menghentakan kakinya dan segera pergi dari Cafetaria yang sudah kosong.

>><<

Dafi menatap laptopnya. Matanya kosong melihat ke arah layar yang menampilkan ada email masuk. Sekali lagi Dafi membaca ulang nama si pengirim Email.

Nayma Casandra

Dafi kembali terdiam. Tidak tau apa yang harus ia lakukan ketika sebuah nama yang sudah terkubur dalam di ingatannya muncul kembali. Nama seorang gadis yang pernah dikenalnya.

Gadis kecil yang dulu bertemu dengannya di rumah sakit, dengan rambut yang semakin rontok, bibir pucat dan senyum tipisnya duduk dengan lemah di kursi roda itu mengiriminya sebuah Email.

Entah. Dafi tidak tahu darimana gadis itu bisa mendapatkan alamat emailnya.

Hi Arsa. Sudah lama ya? Apa kabar, Arsa? Arsa, ini aku Nayma.

Hati Dafi seperti terenyuh melihat pesan gadis itu. Wajah kecil dan bibir tipis yang melengkung ke bawah itu memenuhi pikiran Dafi.

Tidak. Bukan wajah milik Nayma yang memasuki pikirannya. Tapi wajah milik gadis yang masih mengumpat walau dirinya sudah tidak terlihat. Dafi mendengarnya. Mendengar jelas kalimat yang diucapkan gadis itu.

"... gue juga sebenarnya ogah ngelakuin ini semua kalau bukan karena Amsterdam!"

Baiklah. Kita mulai saja, Rasela Calandra. Kitalihat siapa yang akan jatuh di tangan siapa. Dan siapa yang akan tertawa atassiapa

Betting On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang