23. The Eve

506 58 1
                                    

Rasel turun dari mobil diikuti oleh Chasen. Mereka langsung memutuskan pulang saja karena merasa terlalu awkward setelah beberapa adegan di Dufan tadi.

"Makasi, Chasen. Hati-hati di jalan." Rasel berdiri menghadap ke arah Chasen di depan pagar rumahnya.

"Sama-sama. Gue balik, ya." Chasen mengusap puncak kepala Rasel.

"Eh, em, iya." Rasel sedikit terkejut dengan perlakuan Chasen barusan kepadanya.

"Oh ya, buat yang tadi, sorry banget. Sebenernya, lo boleh lupain itu kalau lo mau. Lagi pula, itu emang berlebihan." Chasen menjadi gugup sendiri.

"O-oh, oke. Hm, sebenernya gue ..." Rasel menjeda kata-katanya. "Gue masih belum yakin sekarang apa yang gue mau. Gue juga bingung apa gue masih pacarnya Dafi setelah apa yang udah terjadi di antara kita. Kelihatannya juga Dafi lebih sayang sama Nayma. Tapi gue ... gue mau mastiin sekali lagi sama dia. Setelah itu mungkin akan gue pikirin kata-kata lo."

Tercipta hening cukup lama di antara mereka. Keduanya saling tatap. Chasen berusaha mencerna semua maksud ucapan Rasel dengan sedikit tidak percaya.

"Jadi ... gue boleh ...?"

Kata-kata itu belum selesai. Tapi Rasel sangat paham ketika mata Chasen mengarah tepat pada matanya, meminta sesuatu, meminta sebuah tanda sebagai kesepakatan mereka. Ketika mata Chasen melirik ke arah bibirnya yang tipis. Mata Rasel malah melihat ada siluet yang memperhatikan mereka.

Rasel sangat tahu, dan sangat hafal siapa yang sedang memperhatikan mereka dari jarak sepuluh meter gerbang rumahnya. Rasel membuang pandangan dari siluet itu. Ia menatap Chasen sekali lagi, dan tanpa ragu, sedikit berjinjit untuk menyesuaikan tinggi dengan Chasen, dan mengecup bibir pria itu.

>><<

Dafi terkejut, tentu saja. Ketika mata Rasel melihatnya, dan mata itu seperti tidak bernyawa dan begitu kecewa menatap ke arahnya, hati Dafi terasa hancur. Lalu semakin hancur ketika bibir Rasel menyentuh bibir milik Chasen.

Hanya beberapa detik. Tapi cukup melukai hatinya. Seperti ada sayatan yang sengaja disiram dengan air lemon dan cuka. Begitu perih. Entah kenapa.

"Rasel, lo—"

Dafi bisa mendengar suara Chasen begitu terkejut. Tapi Rasel segera tersenyum dan melambai ke arahnya sebelum masuk ke dalam halaman rumahnya dan menutup pagarnya rapat-rapat. Seolah menolak secara tidak langsung kehadirannya.

Chasen berbalik. Mata mereka bertemu. Ada keterkejutan. Lebih tepatnya sangat terkejut terkejut ketika melihat Dafi berada di belakangnya. Menatapnya dengan pandangan kosong.

Dengan cepat Chasen menghapus ekspresi terkejutnya. Ia ganti dengan ekpresi sama datarnya dengan Dafi. Ditambah hatinya yang menjadi marah ketika melihat wajah Dafi.

"Bukan gue. Dia sendiri yang—"

"Gue punya mata, kok. Gue lihat," potong Dafi cepat. "Kenapa lo selalu mengusik hubungan kami?"

Pertanyaan Dafi membuat Chasen tertawa seketika. "Mengusik?" Chasen tertawa lagi. "Mengusik apa maksud lo? Gue nggak pernah maksa Rasel buat langsung suka sama gue atau bales perasaan gue. Gue juga nggak nyuruh dia mutusin lo. Gue cuma selalu ada di belakang dia, di samping dia, dan ADA di saat dia BUTUH gue." Chasen sengaja menekan beberapa kata. Berusaha menyadarkan Dafi dan membuatnya menyesal.

"Lo tau dia udah jadi MILIK gue. Tapi lo terus berusaha ngedeketin dia. Apa itu bukan mengusik?" Dafi menatap Chasen penuh sanksi.

"Gue ngelakuin itu karena lo nggak becus sebagai cowok! Apa lo tau dia mabuk sampai nggak sadarkan diri? Apa lo tau kalau sebenarnya Nayma adalah sosiopat yang ngegunting rambutnya sendiri dan menuduh Rasel?!" Chasendria berteriak di hadapan Dafi. Membuat Dafi seketika tertampar oleh perkataannya.

Betting On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang