27. A Dumb Man

479 55 0
                                    

Dafi hanya diam memperhatikan mereka. Sudah beberapa menit yang lalu dia berdiri di sana, menatap pemandangan di hadapannya yang sangat membuat hatinya menghangat.

"Bunda cuma mau melihat mereka bahagia lagi, apa ... apa sesulit itu?"

Mendadak tangan Dafi mengepal. Kalimat yang dilontarkan bundanya terdengar begitu rapuh. Seakan yang dikatakannya tidak akan pernah terjadi, atau memang tidak akan pernah terjadi. Begitu frustrasi.

Ketika Dafi hendak mendekat, suara Rasel membuatnya tetap terdiam di sana.

"Nggak kok, Bun. Aku yakin kalian akan bahagia lagi, walau dengan cara yang berbeda. Aku yakin Tuhan nggak akan setega itu ngasih cobaan bertubi-tubi tanpa ngasih akhir yang bahagia."

Entah kenapa, Dafi merasa tenang mendengar kalimat itu. Entah karena perkataan Rasel sangat benar dan meyakinkan, atau karena kalimat yang keluar dari bibir seorang Rasela. Dafi merasa yakin. Merasa yakin dengan hatinya bahwa dia menyayangi Rasel bukan hanya sekadar alat yang bisa dimanfaatkannya, tapi sebagai gadis yang mungkin juga sudah menyayanginya dengan tulus.

Mungkin, kah?

>><<

Rasel menatap Dafi yang sekarang mengendarai mobilnya dengan tatapan fokus ke arah jalan. Gadis itu tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Dafi, tapi ia paham sekali bahwa Dafi masih harus menenangkan dirinya sendiri.

Dafi langsung mengantar Rasel pulang setelah Rasel menghabiskan berjam-jam di rumah Dafi. Mengobrol bersama Adisty, melihat-lihat foto masa kecil Dafi, bercerita tentang pengalaman kecil Dafi, menjelaskan pekerjaan Lucman yang selalu berpindah tempat sehingga membuat mereka harus ikut sesuai prosedur, tapi semua itu mungkin akan berubah setelah ini—kata Dafi, karena Lucman yang memang sudah jarang pulang dan memutuskan untuk menceraikan sang bunda.

Walau begitu, Dafi tetap tidak ingin hal itu terjadi, ia memikirkan nasib Sophie dan Guan. Setelah berbincang banyak, Rasel diajak untuk ikut makan malam bersama, barulah dirinya diantar pulang oleh Dafi.

"Daf, padahal kamu nggak perlu antar aku pulang." Rasel memecah keheningan di antara mereka.

"Aku kan udah bilang, aku nggak mau kamu kenapa-napa," jelas Dafi. Rasel tertawa kecil mendengar penuturan itu.

"Aku? Aku kenapa-napa? Nggak akan, Dafi. Aku kan udah gede, lagi pula aku dulu sempet ikut kelas bela diri, tau!" Rasel kembali tertawa.

"Bukan kenapa-napa karena diganggu orang, aku percaya kamu bisa ngejaga diri. Tapi aku nggak bisa jamin kalau kamu nanti bakal baik-baik aja setelah ketemu hantu."

Seketika Rasel tertawa kencang, sampai memegang perutnya yang terasa sakit. Dafi mendengkus kesal, tapi akhirnya ikut tertawa juga. Kalau dipikir-pikir, perkataan Dafi memang sedikit lucu.

"Hantu?" Rasel sudah berhenti tertawa, tapi senyuman lebar itu masih menetap di bibirnya. "Kok kamu bisa kepikiran sama hantu?"

"Ceritanya panjang, deh. Aku kenal sama seseorang, namanya Ghaida. Dia punya temen yang bisa lihat hantu. Ghaida sampai ketakutan setiap ngelihat temennya itu, karena si temennya pernah bilang di belakangnya ada hantu dan dia sampai jatuh dari tangga, terus berakhir koma dan setelah sadar, hilang ingatan."

"Loh? Kasian banget, cuma gara-gara takut dikejar hantu?" Rasel benar-benar kaget sekarang. Ia mulai berpikir apakah dia akan bertemu dengan hantu juga?

"Namanya Ghaida Romessa, dia anak dari kenalan bunda. Sebenarnya dia orang Indonesia, tapi dia sekarang tinggal di Korea," jelas Dafi.

"Kenapa dia bisa tinggal di Korea?"

Betting On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang