8. Rejection

540 63 3
                                    

"Sen, Sen! Bangun woi, kebo!"

"CHASEN!" Jinendra teriak di sebelah telinga Chasen, dan Naufal mengusapkan tangan basahnya di wajah pria tampan itu.

"Uhuk! Sialan lo!" Chasen mengambil tisu dan mengusap wajahnya, lalu mengusap-usap telinganya yang terasa agak pengang. "Kenapa, sih? Gue lagi mimpi indah sama doi."

"Doi pala lo lima, itu lihat dulu!" Jinendra menunjuk ke arah seorang gadis yang tampak bersemangat menarik pria yang berwajah datar. "Itu Dafi, kan? Yang katanya anak cupu?"

"Wow, dia bisa megang, ralat, dipegang dan ditarik sama primadona sekolah. How lucky?!" Giyo hampir membuat Chasen melemparkan gelas berisi limun milik Jinendra ke arah wajahnya. "Eits, calm down bro, jangan gue yang lo jadiin sasaran."

Chasen mengepalkan tangannya, ia membuang muka dan membawa tas kecilnya meninggalkan cafetaria, paling Giyo atau Jinendra yang akan membayar makanannya, Naufal adalah orang yang cukup pelit jika masalah itu.

"CHASEN! WOI! Wait!" teriak Jinendra yang langsung ditoyor Naufal.

"Nggak usah teriak juga, bego!"

>><<

Rasel sudah berulang kali menguap di ruang yang sunyi ini. Tapi, tampaknya Dafi tidak memperhatikannya dan sudah asik dengan buku setebal tembok sekolahan—oke, terlalu lebay, tapi Rasel bersumpah buku itu tebal sekali. Bagaimana bisa Dafi begitu kuat membaca buku setebal itu?

"Ngapain lihatin? Ganteng?"

Ups, ia ketahuan.

"Apaan, gue-gue—"

"Lanjutin."

Rasel mencebikkan bibir. "Ih, gue capek ah bacanya." Rasel menutup buku itu dan memberikannya kepada Dafi lagi. "Laper Daf, pengen makan. Cafetaria, yuk!"

Dafi menggeleng, ia paling malas jika harus ke tempat ramai seperti itu. Terkadang ia ke sana jika Ezar dan Jero menariknya, atau karena ia ingin membeli sekaleng soda.

"Ih, ayo dong. Please, gue laper banget," rengek Rasel.

Dafi menghela napas. Ia paling tidak suka mendengar rengekan, makanya Ezar dan Jero selalu berhasil menarik pria ini.

"Oke, tapi—" ucapan Dafi terpotong karena Rasel sudah menarik pria itu keluar dari perpustakaan. Dafi tersenyum kecil melihat Rasel yang antusias sekali, padahal gadis ini hanya ingin makan.

Mereka sampai di cafetaria, beruntung cafetaria sedang kosong saat ini. Entah kenapa sebabnya, tapi Dafi bersyukur dalam hati. Mereka duduk di pojok cafetaria, di mana memang hanya tersedia satu meja dan dua kursi, sepertinya pihak sekolah tahu kalau muridnya ada yang suka mojok, atau bucin.

"Dany mau apa?"

"Da-ny?" ucap Dafi heran, Rasel menganggukan kepalanya semangat.

"Kan cewek itu punya panggilan ke lo, ya udah gue panggil Dany aja."

Dany for Dafi Honey, hihihi. Rasel Bahagia sendiri dalam hati.

Dafi tertawa kecil, membuat Rasel sempat menganga melihatnya. Dafi memang tampan jika tertawa, oh, bahkan tersenyum pun sudah membuat Rasel berdebar. Tapi, tak sampai sepuluh detik, tawa Dafi kembali menjadi datar.

"Soda aja," jawab pria itu, Dafi mengambil earpbuds, dan menyalakan MP3. Rasel menarik salah satu earbuds itu, membuat Dafi berdecak sebal. "Kenapa?"

"Masa soda sih?! Nggak boleh! Harus makanan, mau apa?"

"Soda," balas Dafi datar, Rasel mengembungka pipi, ia menarik kedua pipi Dafi karena gemas. "Dibilang jangan soda! Makanan!"

Betting On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang