29. Apology

489 48 13
                                    

Chasen mengikuti Rasel yang berjalan menuju rumah. Ia menjaga di belakang, takut-takut Rasel jatuh karena masih lemas.

Rasel menjatuhkan tubuhnya ke sofa ruang keluarga. Ia menghela napas dan menatap Chasen yang masih berdiri.

"Duduk, lo nggak ambeien, kan?"

Chasen mendengkus. "Cowok seganteng gue? Yakali!" Ia langsung duduk di sofa yang berbeda dengan Rasel. "Kenapa sih lo? Lemes banget."

"Nggak mood aja."

Chasen ber-oh-ria. "Ada gitar, nggak?"

Rasel menunjuk ke pojokan ruangan, terdapat gitar berwarna cokelat dengan sedikit ukiran. Chasen mengambilnya dan kembali duduk sembari memangku gitar yang ia ambil.

Rasel bisa mendengar suara merdu Chasen dan petikan gitar yang menenangkan. Awalnya ia tak tertarik, sampai ia membuka matanya dan menatap Chasen yang ternyata tengah menatapnya. Tatapan itu bukanlah tatapan yang biasanya, sangat dalam dan sedu. Hati Rasel sedikit bergetar.

"Cause all I wanna be. Yeah, all I ever wanna be, yeah, yeah. Is somebody to you. Yeah, you ..."

Putaran memori tentang Chasendria yang selalu membuatnya tertawa mendadak bagai kaset rusak di otaknya.

"Hahahaha."

Tawa Chasen yang membuatnya ikut tersenyum, cara Chasen yang membuatnya bahagia, cara Chasen yang membuatnya gemas, cara Chasen yang membuatnya berdebar. Semua itu bagaikan perputaran memori secara acak.

"I used to run around. I didn't wanna settle down. But now I wake each day. Looking for a way that I can see your face. Yeah, you ..."

Rasel tahu, Chasen selalu ada di sekitarnya. Entah terlihat atau tidak, entah sengaja atau tidak. Rasel tahu, Chasen selalu memperhatikannya.

"I've got your photograph. But baby I need more than that. I need to know your lips. Nothing ever mattered to me more than this. Yeah, you."

Petikan gitar Chasen terhenti. Matanya masih menatap dalam Rasel yang juga masih terpaku pada mata cokelatnya. Chasen tersenyum kecil, ia mengelus pipi Rasel dengan lembut.

"Dulu, gue benci sama cewek. Karena nyokap gue, ninggalin bokap demi cowok lain, dan itu tepat di depan mata gue sendiri."

Rasel mengerjap. Serius? Chasen yang terkenal playboy internasional ini pernah membenci wanita?

"Papa sakit, dia bahkan sampe lupa sama gue dan adik gue, Calvin. Kami tumbuh tanpa kasih sayang, yang bikin kami liar tanpa ada batasan. Sampe akhirnya bokap gue nikah lagi, dan gue bersyukur ibu tiri gue baik. Lo tadi ketemu sama adik tiri gue, Keyno." Chasen memberikan senyum manisnya.

"Ibu tiri gue tau kelakuan gue, tapi dia ngebiarin dan cuma ngingetin gue jangan sampe keteraluan. Ada pesan yang selalu gue inget meski sekarang dia udah nggak ada. Dia bilang 'Kamu harus belajar merelakan masa lalu. Biarkan masa depan datang dan kamu harus sadar, suatu saat nanti, akan ada seseorang yang bikin kamu jatuh hati sedalam-dalamnya. Dan, yang perlu kamu lakuin itu berjuang, seorang lelaki sejati adalah berjuang untuk mendapatkan belahan hatinya.' Dan gue percaya hal itu sekarang."

Chasen menatap Rasel penuh harap. "Jadi, biarin gue berjuang buat lo. Karena lo, gue jatuh cinta dan gue selalu berusaha untuk dapet perhatian lo."

Rasel menahan napas begitu Chasen menyentuh tiap inchi wajahnya. Tatapannya begitu dalam dan seakan berbicara, memohon padanya.

Seketika muncul perasaan aneh dalam dirinya.

>><<

"Arsaa ... Kamu kok jahat mau ninggalin aku?"

Betting On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang