Bab 1

67 9 16
                                    

"Ya Alloh, aku tahu dia rapuh. Maka kuatkanlah kaki dan hatinya. Mudahkanlah jalannya. Ringankan masalahnya. Tegakkan kepalanya.

Biarkan tangannya terulur padaku, agar aku bisa selalu membersamainya."

**********

Brakk!

Nayla membanting tasnya ke meja.

"Masya Alloh... Nay, ngagetin aja. Kenapa sih, pagi-pagi dah sewot aja," sentak Rini, teman sebangku Nayla.

"Sumpek aku Rin, masa laporan dokumentasi acara pensi yang kemarin aku kerjakan nggak di print sama Yoga. Padahal pak Samsul dah wanti-wanti dari kemarin, suruh masukkan laporannya cepat cepat. Mau di masukkan ke majalah juga." Oceh Nayla sambil bersungut-sungut kesal.

"Ya udah. Nanti kita print sendiri saja." Sambung Rini

"Flash disk ga dia bawa juga. Allooooh... " Nayla mengacak kepalanya yang terbungkus kerudung, membuat sedikit berantakan modelnya.

Rini mendesah pelan. Dia juga bingung mesti gimana. Nayla memang total di ekstra jurnalis ini. Segala sesuatunya harus perfect. Mulai peralatan sampai laporan liputan kegiatan.

Dia memang baru bergabung dengan ekstra jurnalis ini dua bulan yang lalu. Dia merasa menemukan dunia baru di sini. Dengan meliput acara ekstra-ekstra lain, dia jadi tahu kegiatan mereka. Kawannya pun jadi lebih banyak. Mengunjungi banyak tempat.

Sikapnya yang disiplin dan keras kepala kadang membuat kawan-kawan jurnalisnya kerepotan sendiri. Terutama Yoga, yang paling sering kena semprot omelan Nayla.

Seperti pagi ini. Yoga yang kecapekan setelah kemarin menyelesaikan liputan dan dokumentasi acara pensi di sekolahnya, ketiduran dan lupa pesan Nayla untuk print liputannya. Parahnya lagi, flash disk untuk menyimpan data masih tertancap di komputer rumahnya, lupa dibawa. Dia pun harus rela kembali jadi bahan omelan Nayla sepanjang pagi. Sial benar nasibnya.

****

"Nay, tunggu," seseorang berteriak memanggil Nayla yang tengah beranjak ke ruang ekstra jurnalis. Nayla menengok ke belakang sekilas. Lalu melangkah lagi. Tiba-tiba dadanya berdetak sedikit lebih kencang. Ish, kenapa harus bertemu dengannya sekarang sih? Batin Nayla.

"Nay, tunggu dong," Armand berhasil mensejajari langkah Nayla. Napasnya sedikit tersengal.

"Ada apa?" Sahut Nayla berusaha menyembunyikan getar suaranya.

"Nih, laporan liputan pensi kalian." Dia menyodorkan lembar-lembar liputannya. Nayla spontan berhenti dan menatapnya heran.

"Kok..?" Tanyanya menggantung.

"Tadi Yoga telp ke rumahnya. Minta tolong suruh anter flash disk yang ada di komputernya. Terus dia pinjam komputer dan print di ruang OSIS. Nah, dia takut tuh ngasihin ke kamu, makanya dititipin ke aku." Jelas Armand panjang lebar.

"Ooh..." Nayla menerima lembaran itu dan melangkah lagi. Tapi, sebuah tangan tiba-tiba menarik lengannya.

"Tunggu," Nayla menatap tak suka ke tangan Armand. Menyadari hal itu, dilepaskan tangannya dari lengan Nayla.

"Sorry... Bisa kita bicara sebentar,"

Duuh, lama juga oke. Sahut Nayla dalam hati. Tapi yang keluar dari mulutnya justru, "Mau bicara apa? Bicara aja," dengan ketusnya.

Understanding NayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang