Cowok itu hanya mampu memandangnya dari jauh. Dia tidak berubah, dia tetap gadis yang lincah dan ceria. Hanya saja dia lebih banyak menghabiskan waktunya di masjid. Beberapa kali lelaki itu melihatnya berjalan beriringan dengan seorang wanita berhijab lebar.
Ya, Armand belum mendapat jawaban atas perubahan sikap Nayla. Dia tidak ingin memaksa Nayla mengatakan apapun, dia ingin gadis itu yang mengungkapkan sendiri.
"Ando," Amir menepuk pundak Armand sedikit keras, membuat dia melonjak kaget.
"Asyem, kaget aku," sahut Armand di timpali kekehan Amir.
"Ngelamun aja. Ngeliatin apa sih?" Amir mengikuti tatapan Armand. Tapi sayang Armand sudah memalingkan wajah dari Nayla.
"Kepo," jawab Armand sambil berlalu.
"Yee... Biasa aja kalee. Eh Ndo, pensi ntar kamu sudah pilih ketua nya?" Mereka berjalan beriringan menuju ruang OSIS.
"Belum, kamu ada usul?"
"Hehehe..."
"Kok malah meringis," Amir menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kalau ketuanya cewek gimana?"
"Jangan lah... Berat tau."
"Eciee.... Tapi kandidatku ini bukan cewek sembarangan looh..."
"Siapa?"
"Jawab dulu. Mau tidak?"
"Siapa yang nanya..?" Armando berlalu dari hadapan Amir.
"Eh, busyeeettt... Awas kamu ya.." Amir mengejar Armand lalu menjitak kepalanya dari belakang. Armand hanya tertawa menanggapinya.
Mereka tidak melanjutkan percakapan karena bel masuk sudah berbunyi. Bergegas mereka keluar dari ruang OSIS menuju kelas masing-masing.
*****
"Nay, boleh bicara sebentar," Nayla tersentak mendengar namanya dipanggil. Apalagi oleh orang yang selama ini dihindarinya.
Bukan karena dia benci atau marah pada cowok itu. Tapi dia sedang berusaha menjaga hati, agar tidak terjerumus dalam perasaannya sendiri. Dia takut tidak bisa mengendalikan hatinya.
"Nay," Armand memanggilnya lagi karena tak kunjung mendapat jawaban dari gadis itu.
"Ehm... Ada perlu apa?" Jawab Nayla pada akhirnya.
"Tidak disini Nay."
"Disini saja tidak apa-apa kan? Rini, tunggu disini ya." Nayla menatap Rini memohon bantuannya.
Rini jadi salah tingkah sendiri. Dia ingin pergi tapi tangannya di pegang erat Nayla. Akhirnya dia hanya mampu mengangguk lemah.
"Baiklah..." Armand mengalah, lalu duduk di kursi di depan meja Nayla.
"Aku ada salah sama kamu?" Tanya Armand to the point.
Nayla hanya menggeleng. Dia tahu pasti itu yang akan dibicarakan Armand.
"Lantas, kenapa seolah kamu menghindari aku?" Cecar Armand.
Nayla menghempas napas pelan. Dia tersenyum menatap Armand.
"Aku..."
"Nay..!!" Seseorang berteriak memanggil namanya di depan pintu kelas.
Nayla bengong menatap cowok berkaca mata, berambut cepak, yang tengah tersenyum padanya di sana.
"Gile bener.. tuh cowok manusia apa malaikat sih. Bening banget," bisik Rini di telinga Nayla. Dia menyikut Rini pelan.
"Hush, kayak udah pernah lihat malaikat aja." Bisik Nayla, Rini terkikik pelan.
"Rafli?" Gumam Nayla. Cowok itu mendekati tempat duduknya. Dilihatnya Armand memandang tajam ke arah cowok itu.
'Siapa?' Tanpa suara, Armand berkata dengan tatapan matanya ke arah Nayla.
"Assalamualaikum. Masih ingat aku kan Nay? Rafli, SMP Sejahtera, 9F." Sahut Rafli sambil mengulurkan tangannya.
Nayla menangkupkan tangan ke depan dadanya, membuat Rafli menarik tangannya dan melakukan hal yang sama. Armand memandang heran sekaligus senang karena Nayla tidak mau bersalaman dengan cowok itu.
"Kamu pindah kesini? Sejak kapan?" Tanya Nayla biasa saja.
"Yup, sudah 2 hari yang lalu sih. Tapi aku baru lihat kamu tadi pas istirahat." Celoteh Rafli riang. Dia menoleh ke orang-orang di sekitar Nayla.
"Oh iya, hampir lupa. Kenalin ini Rafli. Teman SMP ku. Ini Armando, Ketua OSIS. Dan ini Rini." Kata Nayla canggung. Rafli bersalaman dengan kedua temannya.
"Ternyata kamu cukup dikenal disekolah ini Nay, buktinya aku langsung dapat jawaban di mana kelas kamu dari orang pertama yang aku temui," Rafli berceloteh dengan riang, dia senang sekali bertemu dengan Nayla, seolah menemukan mainan yang telah lama hilang.
"Kamu masih tinggal di rumahmu yang dulu kan? Bareng aku yuk." Ajak Rafli.
"Tapi, aku masih ada perlu dengan Nayla. Ya kan, Nay?" Armand menyela pembicaraan mereka.
"No worries, aku bisa tunggu kalian." Jawab Rafli sambil mencari tempat duduk. Mereka hanya melongo saja melihat Rafli.
Spontan, Armand berdiri meninggalkan mereka. Nayla pun segera meraih tasnya dan berlalu. Bukan, bukan untuk mengejar Armand dan memberi penjelasan padanya. Tapi, dia memang ingin segera pulang.
Rini yang masih ada di tempat duduk jadi kebingungan sendiri. Dia pun segera mengejar Nayla.
"Kenapa sih Nay?" Tanya Rini setelah mensejajari langkah Nayla.
"Aku nggak tau Rin,"
"Nggak tahu gimana? Jangan bikin orang lain bingung juga deh. Aku tahu aku nggak secerdas kamu. Tapi aku bisa berusaha memahami kalau kamu menjelaskan," cecar Rini seolah ingin meluapkan segala rasa yang dia pendam selama ini. Dia pun menyadari ada yang berubah dengan sahabatnya itu. Tapi dia diam, berharap Nayla akan bercerita dengan sendirinya. Tapi sepertinya dia gagal menahan diri untuk tidak bertanya.
"Rin..."
Nayla berhenti sejenak menatap sahabatnya. Seperti menimbang sesuatu. Rini menunggu dengan sabar.
"Aku..."
"Iyaa..." geram Rini, berasa ingin menjambak rambutnya sendiri karena kesal menunggu.
"Kamu lucu deh," Nayla menjentik pucuk hidung Rini.
"Aaarrrgghhh.....!" Rini berteriak sambil menjejak-jejakkan kakinya.
Nayla hanya tertawa.Entah kapan Nayla bisa mengatakan apa yang terjadi pada dirinya. Karena dia pun masih belum menemukan jawaban yang pasti.
Di belakang mereka, Rafli terlihat berlari berusaha mensejajari langkah Nayla dan Rini.
"Nay, tunggu dong,"
"Apa sih Raf? Jangan reseh deh jadi cowok. Nayla ga pengen bareng kamu. Dia maunya sama aku," sahut Rini ketus. Rafli ternyata gigih juga.
"Kenapa? Kan bisa lebih irit kalau barengan. Aku bawa motor." Tanya Rafli penasaran.
"Apalagi naik motor. Dia ga bakalan mau," Jawab Rini.
"Eh, kok kamu nyolot aja sih dari tadi. Emang Nayla ga bisa ngoming sendiri ya?" Rafli ikutan sewot mendengar Rini yang menyahuti kata-katanya.
"Biarin dong, emang aku jubirnya Nayla untuk cowok model kamu gini," ketusnya sambil mendorong dada Rafli pelan.
"Eh, apa sih," Rafli menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
"Udah, udah... Kok malah berantem sih. Awas kalian ntar jadi jatuh cinta looh..." Lerai Nayla.
"Iih... Ogah..." Sahut Rini sambil bergidik menjauh.
"Hiii, apalagi aku..." Rafli pun menjauh.
Nayla tertawa melihat tingkah mereka yang hampir mirip. Jangan-jangan mereka memang jodoh ya. Dia kembali melangkah menuju halte, setelah dilihatnya Rafli menjauh dan melambaikan tangan padanya.
Ketika membalas lambaian tangan Rafli, dilihatnya Armand juga melintas dengan motornya. Nayla menghempas napas berat. Semoga dia bisa segera memberi penjelasan pada cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Understanding Nay
Teen FictionMasa SMA adalah masa yang paling indah. Begitu juga yang dirasakan Nayla dan Armando. Mereka sama sama jatuh cinta. Namun diantara mereka ada jarak yang tercipta. Cinta Nayla pada Armando datang di waktu yang tidak tepat. Belum lagi Rafli, Ambar, Ri...