Bab 8

24 1 2
                                    

Rini berjalan mendekati mejanya. Nampak Nayla sedang menundukkan kepala di atas meja dengan mata terpejam. Di tepuknya bahu Nayla.

Nayla membuka mata perlahan.

"Kamu habis nangis Nay?" Tanya Rini sambil duduk di sebelahnya. Nayla hanya tersenyum menanggapinya.

"Kelihatan ya?" Nayla menarik ujung kerudung untuk merapikannya.

"Banget. Cuci muka sana, ga enak banget diliat, ntar aku lagi yang kena marah Ando?" Nayla mendelik padanya.

"Apa, pake bawa-bawa nama Armando segala.." Dia berdiri hendak menuju kamar mandi.

"Assalamualaikum," Terdengar salam dari arah pintu. Nayla tertegun sesaat. Suara yang amat dia kenal.

"Waalaikumsalam," jawabnya lirih, kemudian berlalu begitu saja, tanpa mengucap apapun pada Armando.

Rini hanya mengangkat bahu ketika tatapan Armand beralih kepadanya. Karena tak mendapat jawaban dia segera melangkah ke bangkunya, meletakkan tas dan keluar mengikuti Nayla.

"Toilet!" Seru Rini pada Armand. Dia mengangkat jempol dan tersenyum. Bibirnya bergerak mengucap 'thank you' pada Rini.

*****

Alih-alih ke toilet untuk membasuh muka, Nayla malah ke masjid. Daripada sekedar membasuh muka, mending wudhu sekalian sholat 2 rokaat untuk menenangkan hati, pikirnya.

Armando yang tidak menemukan Nayla di toilet, bergegas mencari ke tempat lain. Ruang ekskul jurnalis, uks, kantin, hingga perpustakaan dia singgahi. Tapi tak ditemukan Nayla. Hingga matanya menangkap sosok gadis itu tengah memasang sepatu di depan masjid. Dihampirinya Nayla dan duduk di sebelahnya.

Nayla yang kaget dengan kedatangan Armando spontan menggeser duduknya.

"Kamu marah sama aku Nay?" Kata Armando dengan ketus.

"Nggak," jawab Nayla pelan.

"Kenapa menjauh?"

"Nggak apa-apa,"

"Nggak apa-apa gimana?" Armand menekan nada suaranya agar tak terdengar oleh sekelompok siswi yang melintas di depan mereka.

"Ya, nggak ada apa-apa Man," sahut Nayla sambil berdiri. Dia meninggalkan Armand yang masih terpaku di tempat duduknya.

"Nay..!" Teriak Armand berlari mensejajari langkah Nayla.
"Bilang dong kalau aku salah,"

"Nggak salah. Aku yang 'in bad mood'" jelas Nayla. Dia tidak ingin Armand salah paham.

"Oke lah. Kalau kamu perlu bicara. Aku siap mendengarkan," Armand mengalah

"Thanks.." sahut Nayla pelan. 'Tidak mungkin aku bicara padamu Man,' Bisik Nayla dalam hati.

*****

Nayla ada di pesantren dimana ustazah Anna mengajar. Di depan sebuah gedung bertingkat, Nayla menghentikan langkah. Diayunkannya tas di pundaknya ke depan, lalu diambilnya ponsel yang ada di saku depan tas.

Di scrollnya kontak hingga dia berhenti di sebuah nama, Ustazah Anna. Ditekannya tombol Call. Sesaat kemudian.

"Assalamualaikum Nay,"

"Waalaikumsalam. Iya Ust, saya sudah di depan,"

"Baik, kamu bisa langsung ke ruang saya. Lantai 2 ruang tafsir."

"Baik ust, terima kasih. Assalamualaikum," Nayla menutup panggilan setelah mendapat jawaban salamnya.

"Bismillah," Nayla melangkah pasti.  Setelah menemukan ruang tafsir putri, Nayla mengetuk pintu dan mengucap salam.

"Masuk Nay," sambut ustazah Anna.

"Terima kasih ust," jawab Nay.
Setelah mencium tangan ustazah, Nay duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut. Tempat itu adalah ruang guru tafsir putri, ada 6 ustazah yang mengajar tafsir putri di pesantren ini.

"Gimana? Ada yang bisa saya bantu?" Tanya ustazah to the point.

"Sebenarnya ini masalah saya pribadi. Saya merasa ada yang aneh dengan diri saya." Nayla berhenti sejenak. Ustazah Anna masih setia mendengar tanpa bermaksud menyela.

"Setiap saya mendengar orang mengaji, dada ini bergetar. Tiap mendengar adzan, rasanya ingin berlari ke masjid. Dan tiap saya sebut Alloh, air mata ini tak bisa berhenti menangis. Kenapa ya ust?"

"Alhamdulillah..." Jawab ustazah Anna. Nayla bingung dengan jawaban itu. Beliau hanya tersenyum menatap Nayla.

"Sebentar ya," Beliau bangkit menuju meja kerjanya. Diambilnya ponsel lalu mengetik sebuah pesan. Setelah itu beliau kembali duduk di depan Nayla.

"Nay, mau minum sesuatu dulu?"

"Tidak ustazah. Terima kasih." Tak lama datang seorang gadis cantik berkerudung lebar warna biru dongker. Setelah mengucap salam dan mendapat ijin masuk, gadis itu duduk di sebelah Nayla.

"Nana, tolong temani Nayla ya. Dia butuh teman ngobrol untuk lebih dekat dengan hatinya dan penciptanya." Senyum ustazah nampak teduh di mata Nayla. Tidak ada kesan keangkuhan. Mata yang menunjukkan betapa besar kasih sayangnya kepada siapapun.

"Baik ustazah," sahut gadis yang dipanggil Nana.

"Assalamualaikum Nay, kenalkan saya Nana. Ayok ikut saya," Nana mengulurkan tangannya. Nayla menjawab salam dan menyambut uluran tangan itu.

Setelah berpamitan dengan ustazah Anna, mereka pun keluar. Nana mengajak Nayla berkeliling sekolah itu. Mereka berhenti di bawah sebuah pohon rindang dimana ada sebuah bangku panjang terbuat dari semen untuk tempat duduk.

"Nay, sedang gelisah mbak," ujar Nayla pelan.

"Gelisah kenapa?" Tanya mbak Nana sambil meraih tangan Nayla.

"Entahlah mbak. Kalau Nay dengar adzan, rasanya seperti ada kerinduan yang besar bergemuruh dalam dada. Kalau ada yang menyebut nama Alloh, rasanya bulu kuduk berdiri semua. Mbak Nana tahu nasyid ndak?" Tanya Nayla kemudian. Dilihatnya mbak Nana menggangguk.

"Kemarin waktu Nay denger nasyid, tiba-tiba nangis aja ga selesai-selasai. Kenapa ya mbak?"

"Alhamdulillah. Itu namanya hidayah Nay. Artinya, Alloh mengetuk pintu hatimu untuk mendekat pada-Nya. Ini kesempatan yang luar biasa. Karena tidak semua muslim mendapat kesempatan seperti kamu." Nayla mendengarkan dengan seksama kata-kata mbak Nana.

"Ketika kita mendekat satu langkah, maka Alloh akan mendekat 1000 langkah. Maka sambutlah hidayah itu, jangan lepaskan. Kami akan siap menemanimu."

"Menggenggam hidayah itu berat. Apalagi bagi gadis seusia kamu. Dimana gelora muda masih begitu besar. Rasa idealis akan segala sesuatu. Persahabatan, cinta. Semua menyatu di usia ini. Berhati-hatilah dalam melangkah."

Nayla menarik napas berat. Bukan, bukan dia tidak mau menyambut kebahagiaan ini. Tapi dia bingung harus mulai dari mana?

Semua terasa sangat tiba-tiba. Kepercayaan dirinya yang mulai terasah di kegiatan ekskul. Kedekatannya dengan Armando. Entah bagaimana dia akan menjelaskan hal ini pada Armando.

"Terima kasih mbak, atas bantuannya. Tapi bagaimana saya harus memulainya?" Kata Nayla mengungkapkan kegundahan hatinya.

"Kita bisa mulai dengan mengikuti kajian rutin Nay. Disini jadwalnya sekali seminggu. Hari ahad jam 9 pagi. Mau ikut kah? Ada banyak sahabat baru yang akan siap membersamai langkahmu nanti." Senyum mbak Nana begitu meneduhkan, hingga Nayla tak kuasa berkata tidak.

Fix! Inilah jalan yang dipilih Nayla. Masalah dengan Armando, dipikir nanti lah.

Setelah membuat janji bertemu pada ahad nanti, Nayla pamit ke mbak Nana. Dia masih harus menyelesaikan editing liputan acara kajian akbar jumat kemarin.

Armando, menggangu pikiran Nayla sepanjang perjalanan. Kenapa ya Nayla kepikiran? Apa memang iya, Nayla jatuh cinta pada Armando?

Entah....

Understanding NayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang