Bab 11

20 2 1
                                    

"Please, jelaskan saja. Aku akan coba mengerti." Kata Armand siang itu setelah bel pulang berbunyi. Nayla tidak bisa menghindar lagi.

"Baiklah," Nayla mengatur debar jantungnya. Beberapa kali dia menggigit bibirnya dan menundukkan pandangan. "Aku ingin mempelajari Islam dengan benar,"

Armand terhenyak mendengar kata-kata Nayla. Dia mengernyitkan mata, mencoba memahami maksud Nayla.

"Aku ingin berislam secara kaffah. Berislam seluruh jiwa dan raga. Bukan hanya sekedar aktivitas ibadah sholat, zakat, puasa dan haji saja. Tapi aku ingin memasukkan islam ke dalam ruang kehidupanku." Jelas Nayla sedikit panjang.

"Bagus dong," sahut Armand. "Lantas?"

"Artinya, kita tidak bisa seperti dulu lagi." Nayla menunduk. "Islam membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Tidak boleh khalwat atau berduaan kecuali untuk urusan yang diperbolehkan. Misalnya pengobatan."

Armand sedikit tersentak dengan penjelasan Nayla. Tapi ditahannya demi mendengar kata-kata Nayla selanjutnya.

"Sebisa mungkin menjauhi ikhtilat atau bercampur antara laki-laki dan perempuan kecuali untuk urusan yang diperbolehkan. Misalnya pendidikan, seperti kelas kita ini."

"Menundukkan pandangan. Baik mata maupun hati terhadap lawan jenis. Menjaga hati agar tidak ternoda oleh cinta lain selain cinta-Nya."

"Maafkan aku Man. Mungkin mulai saat ini, aku akan membatasi pergaulanku dengan cowok-cowok. Tidak hanya kamu, tapi semua cowok. Aku hanya menjelaskan ini padamu. Aku tak ingin kamu salah paham. Aku tidak membencimu. Kamu tidak membuat kesalahan apapun. Ini murni karena aku ingin menggapai hidayah-Nya yang datang padaku."

Nayla menundukkan pandangan. Jemari tangannya bertaut seolah saling menguatkan hati untuk tetap pada keyakinannya.

Armand menghela napas panjang. Dia tak tahu harus berkata apa. Semua yang dikatakan Nayla bukanlah sebuah alasan yang tidak bisa diterima. Tapi entah kenapa ada sisi hatinya yang tidak bisa menerimanya. Seolah dia merasa ditolak sebelum mengungkapkan perasaannya.

Armand pun menundukkan pandangan. Mencoba meresapi setiap kata yang diucapkan Nayla. Detik demi detik yang berlalu bagai bunyi tik tok tak berkesudahan.

"Entahlah Nay," akhirnya Armand membuka suara, "aku belum tahu harus bagaimana."

"Memang butuh waktu Man," Nayla menjawab tegas.

Armand hanya terdiam.

"Man, maafkan aku. Tapi, rasanya aku harus segera pergi. Karena saat ini hanya kita berdua yang ada di sini." Nayla bangkit dari kursinya. Bersiap meninggalkan Armand yang belum bergeming dari duduknya.

"Assalamualaikum," Nayla mengucap salam dan berlalu tanpa menunggu jawabnya.

"Waalaikumsalam," jawab Armand lirih. Tak ada niat dan semangat untuk mengejar Nayla. Separuh otaknya masih mencerna, sedangkan separoh hatinya juga berusaha menerima. Apa yang dikatakan Nayla telah merasuk ke dalam hati dan pikirannya.

Gontai dia meninggalkan kelas. Bukan pulang. Tapi ke ruang OSIS. Semoga dia masih mampu berpikir jernih untuk memimpin rapat OSIS siang ini.

*****

Seorang cewek mendekati Nayla dan Rini yang sedang berbincang di masjid sekolah beberapa hari yang lalu, sebelum Nayla memutuskan untuk berterus terang pada Armand.

"Drama apa neh? Pake peluk-peluk segala?" Ambar, cewek yang centilnya se SMA sedang berjalan memasuki ruangan sholat cewek. Kata-katanya disambut delikan mata Rini.

"Rese!!" Sahut Rini sambil memanyunkan bibir. Nayla menepuk punggung tangan Rini pelan sambil menggelangkan kepala.

"Apa sih. Nyolot aja. Kalian kayak lagi syuting film india tau.. Peluk peluk, nangis nangis." Sahutnya sambil meraih mukena di rak mukena masjid.

"Udah deh. Kalau mau sholat ya sholat aja. Ga usah ikut campur urusan orang." Sahut Rini dengan agak keras.

"Sstt... Sudah.. ga usah diladeni. Yuk," Nayla menarik tangan Rini untuk menjauh. Rini hanya menurut saja.

"Kamu juga Nay. Jangan diam saja kenapa?" Rini masih mencoba melawan. Dia tahu Ambar menganggap Nayla adalah rival mencuri perhatian Armand. Sayang Armand tidak begitu meladeninya. Makanya Ambar selalu berkata pedas ketika bersemuka dengan Nayla.

Nayla hanya tertawa melihat muka kusut Rini. Dia melangkah keluar masjid. Sekolah masih lumayan ramai. Nayla dan Rini hendak ke ruang extra jurnalis. Sebenarnya Nayla sudah berniat melepas kegiatannya. Tapi sayang pak Samsul masih berat dan sering memberinya tugas extra. Mau tak mau Nayla mengikuti saja. Lagipula sebentar lagi juga dia akan naik kelas XII yang artinya sekolah tidak memperkenankan siswanya berkegiatan diluar pelajaran wajib.

"Rin, aku ke kantin sebentar ya." Sahut Nayla sambil berjalan ke arah kantin.

"Nitip ya. Jus alpukat."

"Oke." Nayla mengayun langkah dengan santai. Tiba-tiba, ransel yang disampirkan di pundaknya terasa berat. Sontak dia menoleh ke belakang.

"Hai Nay," senyum Rafli mengembang sempurna menatap Nayla.

"Apaan sih Raf," sentak Nayla hingga tarikan ranselnya terlepas. Dia berjalan kembali.

"Nay. Kamu kenapa sih?"

"Kenapa apanya?"

"Dieem aja,"

"Memangnya aku harus bicara terus gitu?"

"Yah ndak gitu... Maksudnya kamu sekarang lebih irit ngomongnya,"

"Ehm..."

"Tuh kan."

"Hemat Raf. Biar tidak bangkrut."

Rafli bengong mendengar kata-kata Nayla.

"Yaelah Nay, kamu nggak seru amat,"

"Emangnya aku game? Pake seru segala?" Jawab Nayla santai

"Auk ah." Rafli tak menanggapinya.

"Nay, pulang bareng yuk."

"Aku masih ada kegiatan extra." Jawab Nayla, sementara dia langsung menuju ke stand jus. "Jus alpukat 1, jus melon 1 ya mbak," Nayla memesan jus untuknya dan Rini.

"Eh aku ndak suka alpukat,"

"Ge-eR, bukan buat kamu," Nayla melotot ke arah Rafli.

"Hahaha. Iya iya..." Rafli tertawa senang. Nayla duduk menunggu pesanannya dibuat.

Dia raih ponsel, dibukanya aplikasi wa. Armand?

"Ngapain sama Rafli? Katanya ga boleh berduaan dengan laki-laki?"

Nayla:
"Aku ga ngajak dia kok. Tiba-tiba aja dia muncul kayak jelangkung,"

Armand:
"Hahaha, jangan lupa baca ayat kursi. Biar jelangkung pergi."

Nayla:
"Dih, jelangkung yang ini ga mempan pake ayat kursi. Pake kursi mungkin yaa... Hahaha"

Armand:
"Coba aja..."

Nayla tersenyum sendiri membaca chatnya dengan Armand. Kembali dia merasakan desir aneh dalam hatinya.

"Apa sih, senyum senyum sendiri?" Rafli mencoba menengok ponsel Nayla. Tapi keburu di simpannya.

"Kepo!" Nayla bangkit dan membayar pesanannya yang sudah selesai.

"Nay... Aku tunggu ya? Ntar pulangnya bareng!" Rafli berteriak karena Nayla melangkah dengan cepat meninggalkannya.

"Ga usah. Aku bareng Rini!" Sahut Nayla dengan teriakan pula. Dia melambaikan tangan ke arah Rafli lalu berbelok ke ruang jurnalis.

Ah, Nayla. Andai kau tahu. Batin Rafli.

Understanding NayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang