Bab 13

11 2 3
                                    

Hari ini Nayla menemui Armand. Dia tidak mau lagi membuat hatinya nelangsa sendiri. Meski berat, dia harus mengambil keputusan itu.

"Maaf ya Man, aku belum bisa membalas perasaanmu. Aku saat ini masih ingin fokus pada rasa cintaku pada-Nya. Aku belum mampu membagi hatiku dengan lain-Nya. Aku takut menyalahgunakan rasa ini." Nayla menundukkan pandangan. Tak ingin tergoda dengan penampakan ganteng Armando.

Lagi-lagi Armando mendesah. Sebenarnya dia tahu akan seperti ini. Tapi entahlah hatinya masih terasa sakit. Sejenak dia pun menundukkan pandangan.

"Okelah Nay. Aku bisa terima. Tapi maafkan aku bila setelah ini aku akan menjauhimu. Aku juga takut khilaf Nay." Sahut Armand pelan.

Nayla terperanjat. Tak disangka Armand akan bersikap sejauh itu. Tapi Nayla tak bisa berbuat apa-apa. Dia sudah memilih untuk berpegang pada cinta-Nya.

"Mulai hari ini. Kita akan menjaga jarak. Kalau tidak penting banget aku tidak akan berduaan dengan kamu. Mungkin kita tetap bertegur sapa. Tapi kita tidak akan jalan berduaan lagi. Begitu kan?" Nayla megangguk pelan. Ada sisi lain hatinya yang terasa perih. "Aku pun tidak akan menghubungimu lewat wa lagi." Putus Armand.

Kini giliran Nayla yang menghela napas panjang.

"Oke, deal! Aku percaya, bila kita berjodoh Alloh tetap akan mendekatkan kita. Hingga saatnya tiba, mari kita menjaga hati dan diri kita." Kata Nayla akhirnya.

Hari-hari setelahnya mereka berusaha bersikap biasa. Meski sudah berkomitmen untuk saling menjauh, tapi rasanya berat dilakukan, apalagi mereka adalah teman sekelas. Terkadang ada situasi dimana mereka harus melakukan tugas kelompok bersama.

Melihat jarak yang tercipta diantara mereka, Ambar semakin gencar mendekati Armando. Begitu juga dengan Rafli yang semakin sering menggoda Nayla. Tapi baik Nayla maupun Armand tak pernah menanggapiny. Hingga kenaikan kelas mereka tetap bertahan dengan hubungan seperti itu.

Kelas XII. Nayla mulai fokus pada pelajarannya. Dia sudah meninggalkan kegiatan extra jurnalis. Dia juga semakin rajin mengikuti kajian di masjid sekolah maupun di luar. Penampilannya sekarang lebih feminin. Rok dan kerudung lebar adalah ciri khasnya.

Nayla tetap ceria seperti biasa. Hanya saat ini dia terlihat lebih santun. Hal ini membuat Armand semakin sayang padanya. Cowok itu pun semakin sering ke masjid. Dia juga lebih kalem. Semakin banyak cewek-cewek yang berderet di barisan fans-nya, tapi tak pernah dihiraukannya. Dia sudah menentukan pilihan hatinya.

*****

"Kak Aldo!" Teriak Nayla saat melihat Aldo duduk di meja makan rumahnya. Dia berlari dan memeluk kakak tersayangnya.

"Kok sampe sore gini sih sekolahnya? Terkontaminasi Bayu kamu yaa?" Seringai Aldo asal. Dia memang sudah lulus dan saat ini sudah bekerja di Malang.

"Hmm... Iya nih. Ibu maksa Nay ikut les bimbel. Udah kelas XII katanya." Cibir Nayla.

"Iya sih, belajar yang rajin ya adik sayang..." Aldo mengacak kerudung Nayla.

"Iiihh... Kebiasaan deh," cemberut Nayla membetulkan kerudungnya. Dia bangkit menuju wastafel untuk mencuci tangan, tapi kepalanya terantuk sesuatu.

"Aah!"

"Aah!" Suara lelaki terdengar mengaduh bersamaan dengan teriakan Nayla. "Eh, sorry sorry..." Dia berkata sambil menutup hidungnya yang terantuk kepala Nayla.

"Whahaha..." Aldo malah tertawa melihat mereka saling mengaduh. "Kalian ini ada-ada aja."

Nayla melotot melihat kakaknya masih tertawa. Dia melirik kearah lelaki yang baru saja terantuk kepalanya.

"Maaf mas, aku ga tahu kalau ada orang lain." Nayla meminta maaf.

"Sama-sama, aku juga salah." Sahutnya sambil tersenyum. Nayla terpana sejenak melihat senyum itu. Namun, dia buru menundukkan pandangan.

"Eh, aku ke kamar dulu ya kak," katanya sambil berlalu.

"Adikmu Do?" Masih terdengar oleh Nayla pertanyaan lelaki itu pada kakaknya.

"He em. Kenapa? Cantik?" Goda Aldo.

"Iya, cantik." Sahutnya.

"Jelas. Siapa dulu dong kakaknya." Narsis Aldo kambuh deh.

"Ah aku jadi ragu, kalian beneran saudara. Kamu standart banget, sementara dia over cantiknya."

"Sialan!" Firdaus teman Aldo tertawa mendengarnya.

"Mau kenalan?" Tanya Aldo.

"Emang boleh?"

"Iya entar. Makan dulu gih," Firdaus tersenyum riang mendengarnya. Diambilnya piring dan mulai menyendok nasi dan lauk.

*****

"Nay, kenalin nih. Teman kakak, Firdaus. Tapi hati-hati nih ama dia, pinternya kebangetan." Sahut Aldo mengenalkan temannya pada Nayla.

Nayla tersenyum mendengarnya. Firdaus mengulurkan tangan, tapi Nayla hanya menangkupkan tangannya di depan dada sambil mengangguk sopan.

"Nayla,"

"Heem... Dikacangin aku Do," Firdaus tertawa bersama Aldo saat melihat reaksi Nayla.

"Rasain!" Sentak Aldo.

"Maaf, tidak bermaksud membuat kakak tersinggung." Sahut Nayla dengan rasa bersalah.

"Nggak apa-apa non. Aku cuma bercanda kok." Sahut Firdaus kemudian. Nayla menarik napas lega.

"Kamu kelas berapa?"

"Kelas XII kak."

"Ips ya?"

"Iya"

"Susah ndak?"

"Banget kak. Hehehe.."

"Apa yang paling susah?"

"Sosiologi kak. Duh, kacau deh."

"Sekacau apa nih?"

"Parah deh pokoknya. Tapi Alhamdulillah sejak ikut bimbel sudah mulai paham sedikit-sedikit."

"Syukurlah."

Obrolan mereka berlanjut hingga menjelang maghrib. Ternyata Firdaus asyik diajak ngobrol. Dia bisa mengimbangi gaya Nayla yang ceplas-ceplos tapi tetap santun. Aldo sesekali menimpali obrolan mereka.

"Nay. Aku boleh hubungi kamu via wa kan?" Tanya Firdaus saat berpamitan hendak kembali ke Malang bersama Aldo.

"Eh... Gimana kak?" Nayla bertanya pada kakaknya.

"Serah kamu lah Nay. Asal jangan mudah tergoda rayuannya." Bisik Aldo di telinga Nayla.

"Apa? Pake bisik-bisik segala. Curiga nih aku..." Sergah Firdaus.
Nayla tersenyum menanggapinya.

"Boleh kak. Tapi Nay mungkin akan slow respon ya kak. Maklum lagi fokus belajar nih."

"Oke, terima kasih cantik."

"Jiah, mulai deh..." Aldo mendorong tubuh Firdaus menjauh.

Nayla tidak menyadari satu hal. Pandangan mata Firdaus yang menyiratkan ketertarikan padanya. Entah karena terlalu cuek atau memang Nayla sengaja menutup hatinya untuk cinta.

Understanding NayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang