Bab 5

31 2 11
                                    

Gadis itu manis. Artinya dia tidak berkulit putih, tapi hitam manis. Tidak terlalu tinggi tapi juga tidak pendek. Rambutnya yang ikal sebahu  dibiarkan tergerai. Dia berjalan dengan anggunnya mendekati Armand dan Nayla yang berdiri mematung.

"Hai..." Sapanya dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.

"Ehm... Ngapain disini Sa?" Tanya Armand to the point.

"Hai, kenalin aku Risa." Dia mengulurkan tangan ke Nayla, tidak memperdulikan pertanyaan Armand.

"Ehm.. Hai, aku Nayla," jawab Nayla ragu-ragu sambil menerima uluran tangannya. Dia sempat membaca nama sekolah kejuruan di badge seragamnya. "Aku duluan ya," Nayla segera berlalu dari hadapan mereka. Khawatir mengganggu urusan mereka.

Armand yang masih kaget dengan kehadiran Risa, tak sempat mencegah kepergian Nayla.

"Ada apa Sa? Apa ada yang ingin kau sampaikan?"

"Ndo, aku tahu aku salah. Tapi, tak bisakah kau beri aku kesempatan lagi?" Risa memandang Armand dengan wajah memelas.

"Maaf Sa. Aku tidak bisa," jawab Armand.

"Apa karena dia," Risa menunjuk Nayla yang hanya terlihat punggungnya dari kejauhan.

"Mungkin..."

"Kok mungkin? Berarti kamu masih belum yakin dengan perasaanmu? Berarti aku juga masih ada kesempatan kan?" Celoteh Risa

Armand menghela napas berat. Kemudian melangkah meninggalkan Risa.

"Ndo..." panggil Risa sambil mengikuti langkah Armand.

"Sudahlah Sa. Aku ga mau kasih kamu harapan yang sudah pasti tidak ada. Semua yang terjadi diantara kita itu tidak pernah dan tidak akan dimulai. Sampai kapanpun. Aku sudah yakin itu. Jangan sia-siakan waktumu untuk aku. Please... Mengertilah."

Risa tertunduk. Dia berusaha sekuat tenaga agar tak menangis didepan Armand. Dia tidak mau lelaki itu bersimpati padanya, meski hal itu tidak mungkin juga terjadi. Gadis itu tahu betul, sekali tidak berarti tidak selamanya. Itulah prinsip Armando.

"Baiklah...," Akhirnya Risa tersenyum dan menatap Armand dengan yakin.
"Maafkan semua kesalahanku ya Ndo. Mungkin aku pernah membuatmu sakit hati, meski tidak kusengaja. Semoga kamu menemukan kebahagiaanmu."

Armand menatap Risa seolah tak percaya dengan pendengarannya. Tapi tak ayal, matanya berbinar menatap Risa.

"Terima kasih Sa. Aku juga minta maaf. Semoga kamu juga bahagia," sahut Armand. Dilihatnya Risa mengulurkan tangannya, Armand pun menerimanya. Nanti dan seterusnya, tidak akan ada Risa lagi di hidupnya. Dia pastikan itu.

Setelah menemani Risa menunggu angkot. Armand bergegas ke halte bus. Saat bus datang, jam tangannya menunjukkan angka 17:00.

Lembayung senja sudah menampakkan semburat merah jingga. Beberapa awan putih yang tersebar di langit pun memantulkan cahaya warna warni yang cantik luar biasa. Perpaduan biru langit, jingga matahari dan pias awan nampak sangat serasi. Menyejukkan mata yang melihat.

Armand menikmati pemandangan langit sore itu dibalik jendela bus yang membawanya pulang ke rumah.

*****

Nayla tengah sibuk di ruang ektra jurnalis. Liputan kajian akbar yang dilaksanakan jumat depan telah disiapkan baik-baik. Beberapa lembar draft pertanyaan, baik untuk materi maupun wawancara narasumber telah di print dan siap di koreksi pak Samsul.

Tak berapa lama, dilihatnya pintu terbuka dan pak Samsul pun masuk di barengi beberapa siswa kelas X.

"Pak, draft pertanyaan sudah saya print. Nanti dikoreksi lagi ya," pinta Nayla.

"Boleh. Dokumentasi nya siapa?"

"Kak Redo kayaknya. Kemarin dia bersedia datang,"

"Tapi itu kan acara khusus putri,"
Nayla menepuk jidatnya. Kenapa dia bisa lupa hal itu?

"Coba nanti aku tanyakan lagi, apakah memungkinkan kita bawa tim cowok dalam liputan kegiatan itu,"   Nayla berkata dengan masygul.

"Segera hubungi kalau memang tidak bisa bawa kru cowok ya. Sepertinya aku ada kenalan siswi fotografer yang oke," Sahut pak Samsul.

"Siap laksanakan!" Sahut Nayla lantang. Pak Samsul tertawa mendengarnya.

Nayla masih harus merapikan berkas-berkasnya saat dia lihat  beberapa seniornya duduk membentuk lingkaran di salah satu sudut ruangan dengan fokus pada pak Samsul. Mereka sedang mendalami tehnik wawancara.

Mereka sangat kompak. Ingatannya segera melayang saat dia pertama kali masuk ekskul ini. Dia terpaksa memilih jurnalis, karena dia tidak tertarik dengan pilihan lainnya. Sedangkan di sekolah ini setiap siswa diwajibkan mengikuti minimal 1 ekskul.

Awalnya memang hanya karena kewajiban, tapi seiring jalannya kegiatan, Nayla jadi keasyikan sendiri. Selain menambah teman, dia juga bisa pergi kemana-mana. Gratis. Hobi travellingnya tersalurkan.

Nayla bersyukur semua aktivitas yang dijalaninya tidak ditentang orang tuanya. Meski sebenarnya mereka sudah mulai menunjukkan tanda-tanda keinginan agar Nayla kelak kuliah di jurusan ekonomi. Mereka ingin putri satu-satunya itu meneruskan usaha perdagangannya.

Dia suka akuntansi, dia suka matematika, tapi dia kesulitan dalam berkomunikasi. Karena alasan itu jugalah akhirnya dia memutuskan ikut ekskul ini. Dan syukurlah semua sesuai dengan yang diinginkannya.

Setengah jam kemudian, Nayla sudah siap beranjak pulang. Dia melirik casio di tangannya. 13:30. Perutnya tiba-tiba protes minta diisi. Dia pun melangkah menuju kantin. Mudah-mudahan masih ada yang buka.  Karena biasanya jam segini sudah banyak yang habis.

Setibanya di kantin, dia mendekati pak Somad.

"Baksonya masih ada kan Pak?" tanyanya pada pak Somad yang sedang mencuci mangkok kotor.

"Eh, Eneng... Masih Neng. Tapi gorengannya abis.."

"Ga pa-pa deh Pak, satu yaa.." Nayla menuju kursi terdekat yang kosong. Setelah meletakkan tas, dia melangkah ke tempat Bu Narti memesan es jeruk.

Dengan segelas es jeruk, dia kembali ke meja, sudah tersaji semangkuk bakso yang masih panas. Sambil menunggu uap panasnya sedikit berkurang, dia mengambil ponsel dari dalam ranselnya. Dibukanya aplikasi wa dan melihat beberapa pesan dari grup kelasnya.

Tidak ada pesan penting, dia tutup ponsel. Lalu dia makan.

"Sendiri aja nih," sapa seseorang dari belakang Nayla.

"Uhuk..uhuk.." Nayla kaget hingga tersedak.

"Astaghfirulloh...  Maaf,maaf," laki-laki itu spontan menepuk punggung Nayla lalu menyodorkan es jeruk di depannya. Nayla mengambil dan menyeruput pelan.

"Alloh, kaget aku Man. Kirain tadi dah pulang." Sahut Nayla pada lelaki itu.

"Hehehe, kan aku nungguin kamu. Eh, kamunya malah belok kesini. Masih ada kegiatan lain? Kok ndak langsung pulang?" Cerca Armand.

"Ellaaah... Cerewet juga ternyata kau yaa..." Nayla terkekeh mendengar celoteh Armand.

"Laper, jadi mampir sini dulu. Kamu mau juga." Tanya Nayla

"Nggak ah. Thanks.."

Nayla meneruskan makan. Sementara Armand menunggu sambil membaca buku di sampingnya.

"Jumat besok ga usah nungguin aku Man. Aku meliput kegiatan kajian akbar keputrian di aula masjid sekolah. Mungkin sampai maghrib disini. Sekalian kerjakan laporannya."

"Oke." Sahutnya tanpa mengangkat wajah dari bukunya.

Setelah Nayla membayar makanannya, mereka pulang bersama. Bagi siapapun yang melihat kedekatan mereka, pasti mengira mereka pacaran. Namun mereka tak memperdulikan hal itu.

Understanding NayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang