Bagian 1

11.7K 369 12
                                    


"Apa yang lo mau?" tanyaku setelah debat panjang kami.

Menyebalkan!

Satu bungkus tisu basah telah berpindah ke tempat sampah setelah aku pakai untuk membersihkan wajah dan baju pria songong itu.

"Nggak banyak, cukup jadi asisten pribadi gue selama satu bulan," sahutnya datar.

"What?!" Mataku membulat sempurna.

"Kenapa? Gak terima?" sahutnya dengan tatapan angkuh. Sebelah tangannya masuk ke kantong celana. Jika karyawan lain mungkin sudah membungkuk-bungkuk minta maaf atas apa yang terjadi. Tapi aku tidak. Seorang Rania nggak akan meminta maaf untuk sebuah kesalahan yang tidak ia lakukan.

"Lo gi ...."

"Ups ... lo nggak punya pilihan, Nona. Kecuali lo mau kehilangan pekerjaan di kafe ini."

Suaranya penuh penekanan. Lelaki tak tau diri itu membungkuk. Hingga wajah kami hanya berjarak sekitar dua senti meter.

Aku mengatupkan gigi rapat. Kalau ia pikir aku takut, ia salah besar. Meski tak bisa dipungkiri, emosi dan sedih bercampur jadi satu. Beginilah resiko menjadi orang kecil. Jelas yang memulai membuat kekacauan dia, tapi aku yang harus membayar akibatnya.

"Lo brengsek. Gue benci sama lo."

"Gue nggak peduli."

Aku terdiam. Memalingkan wajah saat sebutir bening lolos begitu saja dari sudut mata ini. Tak ingin pemuda kurang ajar yang berada di depanku menyadarinya.

Kalau saja aku nggak ingat Vivian.

***

Malam ini kafe tempatku bekerja lumayan ramai. Maklum akhir pekan. Harusnya beberapa jam yang lalu aku telah kembali ke rumah. Shifku berakhir jam 3 sore tadi.

Saat berkemas-kemas untuk pulang,
Pak Andi manager kafe mendatangiku ke kamar ganti.

"Rania, bisa nggak kamu lembur malam ini?"

"Lembur?"

"Aida nggak masuk. Ia harus mengantar orang tuanya cek-up. Tolong ya, Ran. Kita kekurangan tenaga nih. Apalagi sekarang 'kan malam minggu." Laki-laki itu menatap memohon.

"Tapi 'kan ...."

"Nggak usah khawatir, gaji kamu sama seperti biasa," potongnya cepat.

Senyum lebar menghias sudut bibirku. Siapa yang nggak mau coba. Kerja yang hanya mengantar makanan ke para tamu selama beberapa jam, dibayar sama dengan gaji yang kuperoleh satu hari sebagai kasir. Lumayan 'kan buat nambah uang jajan Vivian.

"Bagaimana?"

Tanpa pikir panjang aku mengangguk, "Aku mau."

"Sip. Ganti kembali pakaianmu, di depan sudah mulai ramai."

Laki-laki itu segera berlalu. Sesuai perintah, aku kembali mengenakan seragam yang baru saja aku copot. Menekan keinginan untuk segera bertemu Vivian.

"Maafin Mami, Sayang," gumamku.

Ada rasa nyeri di sini saat mengingat gadis kecil itu. Sejak bayi ia tak pernah mendapat perhatian yang cukup dariku. Lalu bagaimana lagi? Sudah resiko yang harus dijalani sebagai orang tua tunggal.

Aku menyeka sudut mata cepat. Tak ingin larut dalam kesedihan yang panjang. Suka atau tidak hidup harus terus berlanjut. Toh, apa yang kulakukan sekarang juga demi putri kecilku itu.

"Semangat, Rania!" Aku menyugesti diri sendiri.

Setelah memastikan penampilan terlihat sempurna, aku melenggang keluar kamar ganti. Ternyata benar. Kafe lumayan ramai. Umumnya oleh pasangan muda-mudi yang menghabiskan akhir pekan mereka.

Rania (Mendadak Romantis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang