Bab 15

7.9K 347 53
                                    


Rasanya duniaku jungkir balik. Dalam kurun waktu tidak sampai satu bulan banyak hal yang aku alami. Dan puncaknya malam itu. Tanpa konfirmasi apa pun Math melamarku. Ini mungkin lebih daripada sekedar mimpi jadi nyata. Tapi kenapa justru aku merasa gamang?

Hakikatnya hidup tidaklah sesimpel itu. Banyak hal yang mesti dipertimbangkan untuk menjalin suatu hubungan. Apalagi pernikahan. Cinta saja tidak cukup sebagai modal untuk menjalin keseriusan. Ada banyak faktor untuk menjadikan suatu pertimbangan. Dan aku yakin Math belum berpikir ke arah sana karena matanya tengah dibutakan oleh cinta.

Ya, cinta. Dan itu pada seorang gadis papa sepertiku. Mungkin secara kasat mata ini adalah berkah terbesar dalam hidup seorang Rania. Tapi percayalah! Ketakutan akan kelamnya masa lalu membuatku sama sekali tidak percaya diri.

Math punya segalanya. Anak tunggal pula, itu yang aku tau. Calon pewaris PT. Angkasa Grup. Akan kah ia diizinkan untuk memilih perempuan sepertiku? Rasanya sangat-sangat mustahil.

Namun untuk mempertanyakannya saat itu jelas bukan pilihan. Math terlihat sangat bahagia. Aku pun merasakan hal yang sama di balik kegalauan. Perempuan mana yang tidak ingin menjadi pendamping Math? Dan ia mengungkapkan di tengah banyaknya mata yang memandang dengan berbagai ekspresi.

Aku tersanjung.

Aku melambung.

Namun jauh di lubuk hati tetap terselip suatu kekhawatiran, dan aku hanya bisa berharap semoga ini bukanlah kebahagiaan sesaat. Karena sejujurnya di pelupuk mata sudah terbayang berbagai rintangan dengan sedikit harapan yang masih tersisa.

Semoga keluarga Matheo tidak seperti keluarga Rio.

Rasa kekhawatiran kian memuncak karena sejak malam itu Math sama sekali tidak menghubungi. Berkali-kali aku mendail nomornya. Dan sebanyak itu juga kekecewaan menyertai karena hanya terhubung dengan karyawan operator seluler.

Apa yang terjadi? Mungkinkah ia menyesal dengan apa yang telah diputuskan? Setitik bening mengambang begitu saja. Membayangkannya saja sudah membuat jiwa ini remuk. Aku tidak akan sanggup terluka untuk yang kedua kalinya.

"Math, gue kangen," lirihku sambil memandangi ponsel yang tak juga kunjung menampilkan panggilan.

Tiba-tiba benda pipih persegi itu seperti tak ada gunanya. Aku tersenyum miris.

'Kenapa Rania? Bukankah sejak dari semula harusnya lo mikir? Kalian berbeda. Ingat Rania, berbeda. Tapi lo ngenyel. Memaksa untuk jatuh cinta. Sekarang apa yang lo dapat? Cuma harapan palsu, ya kan?' Aku mengumpat pada diri sendiri.

Terlalu naif!

Ya, aku naif. Memangnya siapa aku yang bisa membuat seorang Matheo jatuh cinta? Yang bisa menaklukkan hati orang tuanya? Apalagi mereka tidak mengenalku sama sekali. Tau-tau sudah dilamar oleh anak mereka.

'Jangan berpikiran buruk. Bisa saja dia ada hal mendesak, atau pekerjaannya di kantor yang membludak. Lo harus ngerti, Ran. Pacarmu itu seorang CEO.'

'Ok, tapi masa buat sekedar mengirimkan satu pesan WA pun ia tidak punya waktu? Gue kan kangen.'

'Eelaah, Ran. Emangnya kalian itu masih anak abegeh, yang lebih percaya akan manisnya sebuah gombalan daripada bukti. Apa yang Math lakuin itu keren, Rania. Banyak wanita yang mengimpikannya.'

Batinku bergolak layaknya dua pendapat yang saling bertolak belakang. Aku berada di titik galau akut.

Perlahan aku mengusap bening yang menguap tak tau diri dengan punggung tangan. Lalu meraih tisu meja dan menghapus ingus yang kalau didiamin akan meraja lela di wajah.

Rania (Mendadak Romantis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang