Bagian 5

4.3K 233 3
                                    


      Satu minggu sudah aku menjadi asisten pribadi Math. Tugasku benar-benar mengurusi urusan pribadi yang sebenarnya dia sendiri telah  terbiasa melakukan. Hanya mandi dan cebok saja yang masih ia lakukan sendiri.

Mulai dari membangunkannya di waktu pagi. Selagi ia mandi aku menyiapkan segala keperluan, seperti pakaian apa yang akan ia kenakan juga merapikan apa saja yang akan ia bawa ke kantor.

Setelah itu bergegas menyiapkan sarapan yang memang telah dimasakin bik Arum. Lalu duduk satu meja, ikut sarapan bareng. Selanjutnya ia akan drop aku ke kafe
karena kebetulan shif pagi.

Etdah!

Berasa jadi istri dadakan. Untung ia tidak menuntut juga tidur di ranjang yang sama, eh ....

Sikapnya mulai melunak sejak melihat air mataku waktu itu. Kadar kejutekan dan suka seenaknya lumayan berkurang. Syukurlah! Jadi aku tak perlu setiap hari bersitegang urat leher yang memicu pertengkaran. Padahal hanya masalah sepele.

Namun pagi ini kekacauan itu kembali terjadi.

Aku duduk di bangku taman. Memandangi Vivian yang tengah bermain dengan anak-anak lainnya. Gadis kecilku itu terlihat sangat senang. Mereka yang baru saja saling kenal di tempat ini membaur begitu cepat.

Itulah kelebihan anak-anak. Seperti sikap, jiwanya juga masih bersih. Tak ada kecurigaan apalagi praduga. Mungkin itu yang menyebabkan mereka cepat akrab.

Kebahagiaan Vivian pun menular padaku. Sesekali bibir ini tersenyum melihat tingkah mereka yang lucu dan menggemaskan.

Saat asyik menikmati keceriaan mereka, mendadak mendung. Lalu gerimis pun turun membasahi wajahku.

"Vi ... mainnya udahan ya? Mau turun hujan ini, Nak." Aku memanggil si mungil yang berlesung pipi itu lembut.

"Ndak au, Mi. Ntal aja."

Etdaah nih anak!

Aku bangkit mendekat. Harus menggunakan jurus jitu sepertinya.

"Besok kita main lagi. Sekarang beli eskrim dulu yuk!"

"Ecim?" Mata bulat berbulu lentik itu menatapku berbinar.

"Hu'um." Aku mengangguk dengan senyum yang tak lepas menghiasi bibir.

Gadis kecil itu tertawa senang memperlihatkan gigi susu yang tertata rapi. Ia lantas menghambur ke pelukanku. Aku segera menggendong tubuh Vivian yang dalam tempo beberapa bulan saja sudah bikin maminya makin ngos-ngosan.

Dengan setengah berlari sambil terus memeluk erat Vivian aku mencari tempat berteduh karena dirasa gerimis makin banyak. Tak ingin anak perempuan itu terserang flu nantinya.

Belum juga sampai di tempat yang dituju, hujan telah turun deras membasahi wajah dan juga rambut.

Kenapa suhu udara mendadak jadi berubah sangat dingin. Lalu ke mana perginya Vivian? Dalam gigil bola mata bergerak liar mencari keberadaan gadis kecilku. Nihil. Ke mana dia?

Pupil mataku malah menangkap sesosok manusia yang akhir-akhir ini mendominasi hari-hari. Siapa lagi kalau bukan Math. Apa yang ia lakukan di sini? Bagaimana ia tau kalau aku berada di taman?

Tapi tunggu!

Di tangan pemuda itu memegang sebuah gayung. Wajah kakunya  terlihat makin datar saja dengan bibir yang terkatup rapat. Rambutnya juga basah, tapi kenapa begitu rapi.

Aku terlonjak kaget begitu menyadari apa yang terjadi. Ternyata bermain dengan Vivian hanya ....

"Math ... lo siram gue?" Aku berteriak. Segera bangkit dari ranjang. Panik juga malu. Entah seperti apa tampangku saat ini.

Rania (Mendadak Romantis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang