Menyebalkan! Niat untuk berleha-leha seharian di tempat tidur buyar. Setelah panggilannya kututup seenak jidat, tepat di depan pintu kontrakan Pak Andi kembali nge-bell.
Meskipun malas tetap saja aku angkat, takut nanti ia ngamuk dan aku beneran dipecat. Andai itu terjadi gimana nasib Vivian. Katakanlah sekarang rekeningku membengkak, lalu apa kata beberapa bulan ke depan jika hanya digerogoti tanpa ada penambahan saldo.
"Ya, Pak?" sahutku malas-malasan begitu panggilannya diangkat.
"Kamu tu ya. Sekali lagi nutup panggilan seenaknya siap-siap aja jadi pengangguran. Emang kamu pikir ada yang bakal ngasih gaji?" omelnya di ujung sana.
Eetdah! Si Bapak, nyolot amat.
"Maaf, Pak. Tadi kepencet," sahutku mencari alasan.
"Kepencet dengkulmu!"
Aku menjauhkan layar ponsel dari daun telinga. Kalau keseringan begini, aku bisa tuli sebelum waktunya.
"Pak, ngomongnya jangan nge-gas napa? Sakit kuping saya."
"Buruan ke kafe. Sekarang!" sahutnya tak peduli.
"Tapi kan saya shif pagi, Pak."
" .,. dan kamu nggak datang?"
"Kan izin."
"Izin sama siapa?"
Aku terdiam.
"Dengar Rania! Katakanlah kamu memang lagi dekat sama si boss, tapi bukan berarti kamu juga seenaknya di kafe ini. Segala hal yang berhubungan dengan kafe masih dalam tanggung jawab saya."
Jleb!
Siapa yang seenaknya coba? Apa katanya? Lagi dekat dengan boss? Dekat dari Hongkong. Yang ada saat ini aku siap nge-gembel lagi setelah diusir secara tidak terhormat.
Lha, namanya juga diusir, mana ada yang terhormat.
'Gue diusir, Pak. You now?' Andai saja kata itu bisa kuteriakan.
"Tapi, Pak. Saya lagi nggak enak badan."
"Jangan beribu alasan Rania. Kamu nggak datang, apa yang tadi saya katakan akan segera jadi kenyataan."
Panggilan ia tutup sepihak.
Nah kan?
Coba kalau aku yang melakukannya, dia langsung mencak-mencak. Sesekali posisi dibalik apa salahnya coba.
Aku melemparkan ponsel ke kasur begitu kaki menginjak ruang tengah yang disulap jadi kamar tidur.
"Nasib jadi orang kecil. Boro-boro di jenguk karena mengaku sakit, ngomong pun nggak dipercaya." Aku mengomel, dongkol.
Setelah minum obat aku segera bersiap-siap. Suka atau tidak memang harus tetap berangkat ke kafe sore ini. Salahku sendiri juga sih. Harusnya tadi minta surat keterangan sakit waktu ke dokter. Hari gini omongan tanpa bukti siapa yang percaya. Bahkan bukti pun kadang masih sering diragukan.
Ya begitulah.
Saat kepercayaan bukan lagi sesuatu yang disakralkan, manusia akan saling berburuk sangka antara satu dengan yang lainnya.
Jadi wajar Pak Andi bersikap demikian.
Aku merias wajah ala kadarnya di depan kaca rias. Pipiku terlihat memerah walau belum diolesi blush on. Bersemu bukan karena jatuh cinta, tapi akibat suhu tubuh yang di atas rata-rata.
Namun apa boleh buat. Harus tetap berangkat walau kantuk mulai menyerang karena obat yang diminum telah bereaksi. Aku berusaha menahan agar tidak tertidur. Biar nanti saja saat di mobil sewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania (Mendadak Romantis)
General FictionSiapa pun di dunia ini tak ada yang ingin menjadi orang tua tunggal. Tapi takdir selalu berkehendak lain. Suka atau tidak apa yang telah digariskan memang harus dijalani. Bagaimana lika liku kehidupan dan kisah cinta seorang Rania?