"Zzzzztttt."Aku memencet hidung dengan tisu untuk kesekian kalinya. Dan melempar ke tempat sampah kecil yang terletak di belakang jok pengemudi. Dekat kaki jok penumpang tepatnya. Sang sopir melirik ke kaca spion setiap kali tisu itu mendarat di sana. Jijik mungkin.
"Mbak tidak apa-apa?"
Tak tahan akhirnya driver ojek online itu bertanya. Untunglah dengan nada khawatir. Lagi-lagi melirik dari kaca spion.
Gak papa gimana? Udah tau semua meler gini masih aja nanya, aku membatin.
"Gapapa, Mas." Jawaban berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Begitulah kebiasaan orang kita, pada diri sendiri aja kadang nggak jujur apalagi ke orang lain.
Si Mas sopir kembali melirik.
"Emang kelihatan banget ya, Mas kalau saya habis nangis?" tanyaku. Dengan nada suara sengau tentunya. Entah kenapa setiap kali air mata keluar hidung ikutan mampet. Kan ribet.
Khawatir juga kalau nanti Mbak Indah mempertanyakan. Tapi mau nyembunyikan gimana coba? Melihat aku pulang bawa ransel saja dan pulang siang pasti ia udah curiga.
Ah, Math sialan! Aku diusir tanpa pesangon. Betapa menyedihkannya nasibku.
"Keliatan sih, Mbak," sahut driver itu ragu.
"Yang bener, Mas? Padahal saya udah dandan lho. Masa iya harus dirusak lagi sih?" Aku mendumel.
Lelaki berkaca mata itu menoleh sekilas. Lalu mesem. Senyum-senyum nggak jelas. Entah apa yang terlintas di kepala plontosnya.
"Diusir suami ya, Mbak?" Tiba-tiba si Mas sopir nyeletuk seenaknya.
Jaaah.
Sembarangan!
Tapi keknya itu lebih baik dari apa yang aku alami. Seorang istri diusir ada kesempatan untuk menggugat harta gono-gini.
Nah aku? Disingkirkan setelah diberi sedikit harapan. Cuma ha-ra-pan. Kan miris.
Math, lo kok tega sih? Padahal gue baru mulai nyaman saat berada di dekat lo. Tapi kalau gue ada di rumah lo, gimana nasib anak gue?
"Huaaaaa."
Tangisku kembali pecah. Ini bagai buah simalakama. Kalau boleh memilih aku tidak mau jauh dari keduanya.
"Mbak, mbak. Nangisnya jangan kencang-kencang. Ntar orang di luar dengar, mereka menyangka Mbak diapa-apain lagi ama saya," ujar sopir itu panik.
Bukannya diam aku malah makin mewek. Menyadari ada sesuatu yang tertinggal di sana. Tak ada yang istimewa dengan sikap Math. Tak pernah ada juga ucapan yang membuat aku tersanjung. Lalu atas dasar apa aku menganggap Math memberi sedikit harapan?
Ciuman itu?
Dia hanya mengambil kesempatan demi melihat binar berbeda dari mataku.
"Bodoh ... bodoh ... bodoh ... bodooooooh." Aku memaki diri sendiri.
"Mbak?"
"Apaan sih, Mas? Rese amat." Aku mendelik.
"Iya maaf."
***
Apa karena banyak pikiran atau memang karena semalam aku berendam tak kenal waktu, badan terasa pada greges. Hidung tak berhenti meler sejak meninggalkan kediaman Math.
Math! Ah, lagi-lagi dia.
'Lagi ngapain ya dia sekarang?'
'Ngapain juga lo mikirin. Emang dia mikirin lo.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania (Mendadak Romantis)
General FictionSiapa pun di dunia ini tak ada yang ingin menjadi orang tua tunggal. Tapi takdir selalu berkehendak lain. Suka atau tidak apa yang telah digariskan memang harus dijalani. Bagaimana lika liku kehidupan dan kisah cinta seorang Rania?