MATHEO PoV
Aku melangkah cepat meninggalkan ruang meeting. Siang ini ada janji dengan anak-anak di studio. Biasalah. Apalagi kalau bukan menyalurkan bakat terpendam. Dua apa tiga kali gebukan cukuplah. Lumayan buat menghilangkan kejenuhan. Sudah seminggu ini aku tidak mampir ke sana. Dan kebetulan hari ini anak-anak akan kembali manggung di kafe. Sesuai jatahnya seminggu sekali.
Ingat kafe ingatan pun melayang pada si rese Rania. Karyawan terberani sepanjang sejarah hidup seorang Matheo. Bagaimana tidak? Disiram jus strawberry. Bisa hancur reputasiku jika orang-orang kantor sampai tau.
Beruntung cuma anak-anak RM Band yang ngeliat, meskipun geli tapi mereka tidak terlalu mempermasalahkan.
Ingat gadis itu seulas senyum terbersit di bibir. Sebenarnya ia gadis yang baik. Selama diperlakukan dengan baik. Sepertinya. Hanya saja perkenalan yang berawal dari sesuatu yang kurang berkenan terkadang membuat aku ingin balas mengerjai.
Bukan dendam. Hanya saja melihat wajah cantik yang ditekuk itu mendatangkan kesenangan tersendiri.
What Matheo? Lo bilang apa barusan? Wajah cantik ...? Emang cantik sih, sayangnya terlalu pendek. Semekot. Dan ia selalu mendelik saat dipanggil dengan istilah itu.
"Hei ... napa lo, Bro? Senyum-senyum nggak jelas."
Niko menepuk pundakku keras. Entah sejak kapan cecunguk satu ini masuk. Emang kebiasaan nih anak masuk nggak pernah ketuk pintu.
"Gue mau ke studio," ujarku langsung bangkit dari kursi putar itu.
"Lo senyum-senyum hanya karena mau ke studio? Emang ada apa di sana? Lo nyimpen cewek ya?"
"Cewek apaan? Jan gila lo."
"Terus ada apa?"
Aku menjawab tanya Niko dengan senyum, lantas menepuk pundaknya.
"Selamat penasaran."
"Anjiir." Sahabat sekaligus orang kepercayaanku di kantor ini garuk-garuk kepala.
Saat menunggu lift ponsel di kantong celana berbunyi. Aku merogoh dan menatap layar pipih itu.
Aldo.
"Bro, kita udah di studio nih!" teriaknya cempreng di sela suara berbagai alat musik yang dimainkan asal.
"Ya udah, lanjut dulu. Gue menuju ke sana."
"Lo udah sampai mana?"
"Masih di kantor. Baru mau turun."
"Eetdah! Kirain udah mau nyampe."
"Lha, yang mau latihan kan lo pada, ngapain juga nungguin gue."
"Nih, si bos kebanyakan gawai oleng ya? Lo kan ada janji ama produser rekaman itu," teriak Aldo lagi.
Aku menepuk jidat sendiri. Bagaimana bisa aku lupa? Surat perjanjian kontrak dengan produser rekaman tertinggal di rumah.
Ini gara-gara si cebol Rania yang kesiangan. Jadinya kerjaanku juga ikutan berantakan.
Sejak kapan lo mengandalkan orang lain, Math? Biasa juga semua lo lakuin sendiri? Aku membatin, menyadari kalau aku mulai bergantung pada seseorang. Seorang Rania si gadis galak.
"Dia sudah di sana?"
"Sudah dari tadi!" teriak Aldo.
Sial nih anak! Sama bos kok nggak ada sopannya. Mentang-mentang teman sendiri. Bakal kena SP juga nih.
"Suara lo bikin kuping gue budeg, bege."
"Bodo!!"
Aku memelototi ponsel sekalipun tau tak ada muka Aldo yang menyebalkan di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania (Mendadak Romantis)
General FictionSiapa pun di dunia ini tak ada yang ingin menjadi orang tua tunggal. Tapi takdir selalu berkehendak lain. Suka atau tidak apa yang telah digariskan memang harus dijalani. Bagaimana lika liku kehidupan dan kisah cinta seorang Rania?