Bagian 3

5K 253 6
                                    


Seorang asisten rumah tangga menghampiri tergopoh ketika sang juragan berkoar. Wanita paruh baya yang masih terlihat gesit itu mengangguk hormat.

"Ya, Den."

"Tolong bantu Nona ini ke kamarnya."

"Kamarnya?" Wanita itu terlihat bingung.

Ya jelas aja dia bingung. Orang baru bertamu masa udah punya kamar.

"Berikan ia kamar yang mana saja, mulai sekarang ia akan tinggal di sini," lanjutnya.

Lalu melangkah cepat meninggalkan garasi. Bibirku yang baru saja mangap dengan mata melotot mau protes kembali terkatup rapat. Percuma saja. Sosok tinggi atletis itu telah menghilang di balik dinding.

Orang aneh!

Asisten rumah tangga yang ternyata biasa dipanggil 'Bik Arum' itu mengajak ke sebuah kamar. Sebelumnya kami melewati ruang tengah yang dipenuhi ornamen mewah. Aku terpukau. Mulai dari sofa, kursi, karpet, pajangan, bahkan lampu hias gantung semua serba lux. Bisa kutaksir harganya milyaran rupiah. Perfeck. Aku bukan diajak ke sebuah rumah. Tapi istana.

Setelah melewati tangga berputar dengan pegangan bermotif ukir layaknya kuningan, kami memasuki sebuah ruangan yang ukurannya kurang lebih 4 kali besar kontrakanku. Mata kembali dimanjakan. Sebuah spring bed ukuran sedang bertengger manis di pojokkan. Menghadap jendela. Kiri kanan ada meja kecil yang di atasnya terletak lampu tidur. Di bagian sebelah kaki ranjang terdapat sofa bertatakan karpet lembut berwarna maroon.

Sementara di sudut lain kamar terpajang lemari pakaian yang seolah menyatu dengan dinding kamar.

Aku tertegun.

"Bik, kita nggak salah masuk kamar?" Akhirnya penasaran ini pecah juga.

Mana mungkin seorang asisten pribadi diberikan fasilitas semewah ini? Jangan-jangan sekarang aku tengah ngelindur. Mimpi ketemu pangeran berkuda putih yang mengulurkan tangan saat aku nyaris tumbang karena lelahnya berlari.

'Bangun Rania!'

"Nggak, Nona." Jabawan singkat itu cukup menahan rasa penasaran yang membludak. Sepertinya si bibik super repot, hingga buat berbincang pun ia tak punya waktu. Hanya menjelaskan beberapa yang ia pikir perlu aku ketahui. Atau memang itu karakternya. Sedikit bicara banyak bekerja. Eeaaa ....

Baiklah! Nanti akan aku cari tau sendiri apa yang ingin aku tau. Eh ..., jangan aneh-aneh Rania. Lo pikir ke sini buat refreshing. Ingat! Lo itu asisten. Kata keren dari sang babu.

Miris? Iya.

"Makasih ya, Bik. Oh ya ... panggil saya Rania," ujarku saat wanita paruh baya itu akan meninggalkan kamar.

Wanita itu hanya mengangguk. Lantas berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ternyata pembantunya juga seaneh majikannya. Semoga aja aku nggak ketularan nantinya.

Setelah Bik Arum meninggalkan kamar, aku tercenung. Ingatan kembali melayang pada Vivian. Bagaimana kabar anak itu? Semoga saja ia tidak merepotkan Mbak Indah.

Wanita yang begitu welas asih, berbudi pekerti sesuai namanya. Menyayangi Vivian layaknya anak sendiri. Dan itu membuatku tenang. Meski terkadang rasa cemburu menyelinap begitu saja. Istilah kata, aku yang capek ngedan waktu ngelahirin, dia yang punya anak. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya begini cara satu-satunya agar Vivian bisa terurus dengan layak.

Aku bukan tidak sanggup bayar seorang pengasuh. Hanya saja maraknya kasus penganiayaan yang dilakukan pengasuh sendiri saat orang tua si anak tidak ada, sungguh membuatku was-was menitipkannya pada orang lain.

"Udahan bengongnya?"

Aku nyaris loncat dari ranjang saking kagetnya. Menatap mendelik pemuda kurang ajar yang seenak perut masuk kamar orang tanpa mengetuk pintu.

Rania (Mendadak Romantis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang