Aku membalikkan tubuh berkali-kali. Sudah lewat jam 12 malam, tapi mata belum juga bisa terpejam. Ranjang yang nyaman pun sama sekali tak menggoda mata ini agar terlelap.Pikiranku tak bisa lepas dari Vivian. Ini kali pertama tidur malamnya tanpaku. Bocah 3 tahun itu pasti takkan bisa tidur dengan nyenyak. Karena kebiasaannya setiap kali tersentak ia akan menyelipkan kepala di bawah ketiakku.
"Mami, iyum n*n*n." Kata itu selalu terngiang. Padahal yang ia cium itu hanya baju. Yang penting asal nempel ke maminya.
"Maafkan Mami, Nak." Aku menggumam. Lirih.
Puas bolak-balik kiri kanan, duduk tidur, duduk lagi sambil memangku lutut, akhirnya aku beranjak. Beralih ke kursi meja rias. Makin terasa menyiksa saat cacing di perut ikut berkoar. Baru ingat, dari siang aku belum makan apa pun. Kesal dengan ulah Math aku menolak saat ia mengajak makan malam.
Mau nyari makanan ke dapur, malu. Secara aku orang baru di tempat ini. Menahan sampai pagi? Pasti sangat tersiksa.
Aku menyambar tas tangan yang ada di nakas. Biasanya selalu ada roti atau biskuit untuk cemilan tersimpan di sana sebagai cadangan.
Sial!
Ternyata tak ada apa pun lagi yang tersisa.
Bagaimana ini?
Pernah dengar istilah lebih baik ribut dengan orang daripada harus berantem dengan cacing di perut? Kayaknya kali ini aku sepakat.
Dengan menepikan rasa malu kaki ini melangkah ke dapur. Kulkas. Siapa tahu ada makanan siap saji atau buah-buahan yang nyempil di sana.
Namun saat membuka pintu kamar, aku kembali berbalik. Sayang keberadaanku telah terlihat olehnya. Baru tahu kalau ternyata kamar kami bersebelahan. Belum sempat pintu itu kembali tertutup Math lebih dulu menahan dengan telapak tangan.
Aku gugup ... dan juga takut. Pikiran buruk terlintas begitu saja. Bayangan peristiwa empat tahun yang lalu kembali berkelebat. Jangan sampai peristiwa yang sama kembali berulang dengan pria yang berbeda.
Jika di masa lalu terjadi atas nama cinta, bisa saja kali ini karena adanya kesempatan.
***
Rio datang ke rumah dalam keadaan sempoyongan. Ia meracau. Bau alkohol menguar ketika ia berbicara. Dari ocehannya aku tau ia baru saja bertengkar hebat dengan sang bunda. Apalagi kalau bukan masalah restu yang tak kunjung diperoleh.
Kami baru saja selesai UN, jangankan bekerja ijazah SMA pun belum diperoleh. Orang tua Rio ingin pemuda yang telah dipersiapkan untuk mengelola salah satu perusahaan keluarga itu menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu.
Namun baik Rio maupun aku sangat tau, alasan sebenarnya karena perbedaan status sosial yang sangat mencolok. Beribu alasan yang dikemukakan oleh mamanya sama sekali tidak membuat pemuda itu berhenti mengejarku.
Bahkan ancaman segala fasilitasnya dicabut pun tidak diindahkan.
Pada pemikiran pemuda 18 tahun itu, menikah bukanlah penghalang sebuah cita-cita. Bukankah adanya tanggungan akan membuat ia makin semangat? Terlebih menikah atas dasar cinta. Sesuai pemikiran remaja seusianya yang tengah dimabuk asmara.
"Mungkin orang tua lo benar. Kita masih terlalu muda, Rio."
"Lalu kenapa?" Ia menatap dengan mata memerah.
"Matang itu bukan karena usia, tapi pemikiran."
"Tapi kita tak mungkin melangkah tanpa restu. Gue gak mau," tegasku.
"Pilih mana pacaran dengan grepe sana sini atau menikah dan hubungan menjadi halal?"
Jleb!
"Apaan sih?" Wajahku memerah. Mungkin karena setengah mabuk maka ia dengan gampang berbicara seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania (Mendadak Romantis)
General FictionSiapa pun di dunia ini tak ada yang ingin menjadi orang tua tunggal. Tapi takdir selalu berkehendak lain. Suka atau tidak apa yang telah digariskan memang harus dijalani. Bagaimana lika liku kehidupan dan kisah cinta seorang Rania?