Mataku menatap nanar layar pipih yang berdendang tiba-tiba itu. Dengan perasaan deg-degan mengusapnya untuk menyahuti panggilan. Harusnya aku sudah ada di kafe sejak setengah jam yang lalu. Berhubung Vivian yang rada rewel, aku terpaksa ingkar janji. Semoga saja Pak Andi bisa memaklumi. Meski kemungkinan kecil sih, ia tidak marah.
"Rania, jam berapa ini?"
Nah ... kan?
Teriakan Pak Andi di ujung telepon nyaris memekakkan telinga. Nggak bisa apa lebih pelan dikit. Mentang sendirian di ruangan bebas ngapain aja. Dikata hutan belantara?
"Ini udah di jalan, tau sendiri Jakarta macetnya bagaimana. Parah, Pak," sahutku sedikit berbohong.
Memang jam-jam segini ada beberapa ruas jalan yang macet, tapi yang pasti bukan di lokasiku sekarang.
"Jangan bohong kamu. Saya tau daerah sana jam segini mana ada macet."
Jah! Ketebak.
"Yah, si Bapak nggak percayaan amat. Yang lagi di jalan itu kan saya." Tetap ngeles mode on.
"Sudah, jangan banyak omong kamu. Buruan, kafe lagi rame ini."
"Iy ... iya, Pak."
Sambungan terputus tanpa permisi. Emang namanya atasan itu selalu gitu kali ya? Tak mengerti sopan santun. Biarpun bawahan kan orang juga. Atau lupa didikan bagaimana cara menghargai orang lain.
Aku mendumel panjang pendek.
'Yaelah, Ran. Yang salah ntu elu, napa lu malah yang ngomel?'
'Emang sih janjiku sudah sedikit meleset. Tapi masa iya nggak ada dispensasi. Seenggaknya pengertian dikitlah. Coba ia jadi aku?'
'Tetap aja lu salah. Emang lu bilang bakal terlambat?'
Saat nurani saling mencari pembenaran, bis yang aku tunggu datang. Aku segera berlari mendekat. Karena kutahu itu mobil tidak akan benar-benar berhenti, hanya melambat. Dikira semua penumpang pernah jadi kondektur kali.
Di dalam penuh sesak. Boro-boro bisa duduk. Berdiri pun empet-empetan. Mana di belakang ada lelaki tua yang tak tau diri lagi. Main gresek-gresek seenaknya. Padahal mobil nggak oleng-oleng amat. Nggak nge-rem mendadak juga.
"Maaf ..., maaf," ucapnya saat aku melotot tajam.
"Yang sopan ya, Anda itu sudah tua."
Wajahnya memerah. Malu kali dikata tua, nggak sadar umur memang.
Tiba-tiba mobil benar-benar oleng seiring bunyi suara ledakan. Penumpang berteriak panik. Aku yang berdiri di tengah tanpa pegangan nyaris tersungkur. Kutukan sang manager dah nih, karena aku telah bohongi dia.
Untung di depan ada cogan, serta merta ia memegang pundakku. Saat tanpa sengaja kami saling tatap, ia tersenyum ramah.
Eelaah, bikin si Rania malu-malu marmut.
"Maaf."
"Nggak papa, Mbak." Kami saling bertukar senyum.
"Ada apa ya?" tanyaku setelah mobil sama sekali tidak bergerak dengan posisi miring.
Penumpang pada berhamburan, berdesakan mencari jalan keluar.
"Ban pecah," sahut pria itu sambil bergerak mengikuti arus penumpang mencapai pintu.
Alamat kena skak ini mah. Tau sendiri Pak Andi kalau marah. Semua kebaikannya diungkit.
'Nasibmu, Ran.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania (Mendadak Romantis)
General FictionSiapa pun di dunia ini tak ada yang ingin menjadi orang tua tunggal. Tapi takdir selalu berkehendak lain. Suka atau tidak apa yang telah digariskan memang harus dijalani. Bagaimana lika liku kehidupan dan kisah cinta seorang Rania?