Bagian 8

4.2K 235 7
                                    


       'Dasar bodoh. Lo kan bisa lebih jaim dikit. Kalau dah kek gini kan lo malu sendiri.'

Aku membenamkan wajah di bantal. Tak mengerti dengan perasaan sendiri. Bagaimana bisa aku membiarkan Math melakukannya? Walau hanya berlangsung beberapa detik tapi debarnya masih berlangsung hingga saat ini.

Math menciumku.

Astaga!

Aku membalikkan tubuh. Menerawang langit-langit yang tetiba dipenuhi wajah seorang Matheo dimana-mana. Senyum tipis dengan bibir merah alami. Tatapan setajam mata elang yang sukses menembus relung hati hingga aku tak bisa lagi berkutik.

Apa yang baru saja terjadi berkelebat mendominasi pikiran.

"Lo kenapa?" Ia menangkap pergelangan tanganku dan menyentak hingga nyaris terjatuh di pelukannya. Sesaat netra kami bertemu.

"Nggak." Aku membuang muka.

Math menaiki satu anak tangga, hingga aku yang telah berada di lantai atas jadi nyaris tak berjarak di depannya. Dengan selisih satu anak tangga tinggi kami nyaris sama. Meski tetap lebih tinggi dia. Padahal aku sudah pakai high heels. Baru disadari ternyata aku memang sangat pendek dibandingkan dirinya. Pantas saja ia selalu menyebutku cebol.

Tiba-tiba saja pria itu meraih pinggangku, mengunci dalam pelukannya. Mata yang coklat gelap berkabut itu, menatap dalam.

Tulang belulang di tubuh mendadak tak berfungsi saat bibirnya menempel sempurna di permukaan bibirku. Bukannya mengelak, aku malah memejamkan mata seolah menikmati.

Hanya dalam hitungan detik sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa yang ia lakukan hal yang tidak pantas. Serta merta aku mendorong tubuh Math. Begitu ia melepas pelukan aku segera berlari masuk kamar.

'Matilah kau Rania.'

Tak terbayang bagaimana besok aku menatap wajah itu. Bisakah bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Mana bisa lagi aku mengangkat dagu songong di depannya. Yang ada nyaliku bakal menciut. Lesu bagai pejuang kalah perang.

Duh, ini memalukan!

'Lo murahan, Rania. Segitu hausnya lo akan kehangatan seorang pria hingga membiarkan diri lo dimanfaatkan Math? Apa yang lo harapkan dari pria yang tak punya hati sepertinya? Cinta?'

Aku tersenyum miris. Lalu perlahan bangkit dari ranjang. Menggeleng berkali-kali mengusir bayangan lelaki yang pada akhirnya berhasil mengacaukan malam dan hatiku.

Dengan tubuh yang seolah tak bertenaga aku melangkah ke kamar mandi. Agaknya berendam dalam air hangat bisa mencairkan otakku yang tiba-tiba membeku.

Ya, beku. Hingga tak tau lagi mana orang sungguh-sungguh dan mana yang hanya memanfaatkan keadaan. Aku terperangkap dalam rasa yang sebenarnya ingin dihindari.

"Math sialan, kurang ajar, tak tau sopan santun. Seenaknya saja mencium orang. Emang dia pikir gue cewek apaan." Aku terus mengomel sambil menatap bayangan sendiri di depan cermin.

"Tapi lo tadi itu 'kan berdebar, jangan muna deh."

Aku memaki diri sendiri. Menyadari suasana hati yang tak lagi sama. Perlahan namun pasti nyatanya laki-laki itu berhasil mengukirkan nama di bagian yang paling sensitif. Hati.

Sepintas ingatanku melayang pada Rio. Empat tahun sejak kepergiannya baru kali ini hatiku kembali terjamah. Disadari atau tidak kebekuan itu mulai mencair.

Kalau saja aku tidak trauma akan masa lalu tentu saja tak ada yang salah dengan semua ini. Math pria bebas dan aku ...? Meskipun berstatus seorang ibu, aku bukanlah wanita yang terikat dalam sebuah perkawinan.

Rania (Mendadak Romantis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang