"Ayo pulang!" ujarnya tiba-tiba.
"Pulang? Ke mana?" Aku seperti orang ambigu.
"Ya ke rumah gue lah!" Tatapan itu begitu datar, "Jalani hukuman lo."
"Tapi ...."
"Sekarang, Rania!"
Allahu. Ini orang apa bukan sih?
"Gue masih kerja."
"Lo lupa tengah berhadapan ama siapa?" Sebelah alisnya terangkat.
Nah, begini nih. Mentang-mentang bos, bebas. Tapi nggak gitu juga kali. Biar bagaimanapun aku punya tanggung jawab yang harus dikerjakan.
"Malah ngelamun. Lo mau dipecat tanpa pesangon?"
Aku menatapnya kesal. Bukan. Tapi benci yang mulai menjalari seluruh urat nadi. Andai saja aku punya pilihan, nggak bakalan sudi bekerja dengan orang sepertinya.
"Lo keluar. Gue mau ganti baju." Akhirnya aku berucap, mengalah. Terpaksa mengalah tepatnya.
Dia menatap dari atas sampai bawah. Refleks aku menarik rok yang terbilang pendek menurutku. Sejengkal di atas lutut. Sejujurnya aku kurang nyaman dengan pakaian ini. Namun bagaimana lagi? Sudah suatu keharusan. Dipikir-pikir gimana mungkin nggak terjadi pelecehan.
Dia terkekeh pelan melihat wajahku yang mungkin telah memerah.
"Paan sih?" Aku mendelik.
"Lo tenang aja. Gue nggak bakalan nafsu," ujarnya. Lalu segera melangkah keluar ruangan.
Anjriit!
***
Mobil pria itu berhenti tepat di pelataran parkir sebuah butik yang menjual pakaian pria dan wanita. Aku tau dari logo dan merk yang terpampang besar di bagian depan."Turun!" Ia memerintah begitu melihatku yang masih anteng duduk di jok belakang.
"Saya?" Menunjuk diri sendiri.
"Ya iyalah! Emang ada orang lain di sini," sahutnya jutek.
Aku cemberut. Mendadak merasa jadi orang tolol. Dan itu sama sekali nggak enak.
"Oh ya, gak usah terlalu formal," ujarnya lagi. Tatapan itu tetap sama. Datar.
Maksudnya apa?
Namun aku tak akan bertanya. Karena yakin ia juga tidak akan menjelaskan apa pun. Setelah mengucapkan kalimat itu ia melangkah turun.
Apa karena aku menyebut diri 'saya' tadi? Ah sudahlah! Bagus kalau gitu mah. Jadi nggak perlu merasa sungkan.
Aku terseok mengikuti langkah panjangnya masuk ke toko. Menyebalkan! Seumur hidup baru kali ini aku dianggap kacung. Gini-gini kan gengsi bagiku di atas segalanya.
"Jalan lo kek keong, lelet amat sih?"
Ia berhenti tepat di depan pintu.
"Ya udah, kalo lo gak sabaran masuk aja ndiri. Gue tunggu di sini," sahutku kesal.
Siapa yang nggak kepancing coba. Udah tau kakinya panjang, jelas aja langkahnya lebar. Nah ... aku?
"Terus siapa yang bawain belanjaan?"
"Ya elo lah. Yang belanja kan lo," sahutku santai.
Pemuda kurang ajar itu berkacak pinggang. "Apa perlu gue ingetin lagi?"
Kalau saja tidak malu, ingin rasanya aku menangis di tempat ini. Menyesal, kenapa tadi aku terima tawaran Pak Andi. Apalagi kemungkinan besar malam ini aku tidak akan bertemu Vivian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania (Mendadak Romantis)
General FictionSiapa pun di dunia ini tak ada yang ingin menjadi orang tua tunggal. Tapi takdir selalu berkehendak lain. Suka atau tidak apa yang telah digariskan memang harus dijalani. Bagaimana lika liku kehidupan dan kisah cinta seorang Rania?