BAGIAN 10

4.2K 245 6
                                    

Matheo PoV

Aku tersenyum simpul membayangkan bagaimana meronanya wajah gadis itu. Mata yang bulat indah mengedip gugup. Lalu perlahan terpejam saat bibirku menyentuh tepat permukaan bibirnya. Degup jantung gadis itu saat tubuh kami menempel rapat menimbulkan desir tersendiri di sini.

Hal itu mungkin takkan terjadi andai saja ia tidak pura-pura tidur dan lantas turun dari mobil dengan monyong-monyong nggak jelas setelah aksinya terbaca. Sungguh menggemaskan.

Entah setan apa yang menggoda, aku mengikuti langkahnya cepat. Hingga tepat di ujung tangga berhasil menangkap pergelangan tangannya.

Rania gugup.

Tapi binar itu ....

Lelaki manapun pasti takkan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah di depan mata. Ia begitu menggoda.

Sialnya sekarang aku terjebak dalam permainan yang kuciptakan sendiri. Bayangan gadis itu tak sedetik pun beranjak dari pikiran. Darah kembali berdesir setiap kali mengingat apa yang terjadi.

'Jangan bilang lo jatuh cinta, Math.'

Aku menggeleng berkali-kali. Nggak mungkin seorang Matheo hanya karena ciuman singkat lantas menyerahkan hati pada gadis itu. Nggak mungkin. Apalagi hanya untuk seorang Rania. Karyawan yang lagunya melebihi majikan. Songong.

Kalau nggak mungkin, lalu ini apa?

Nyatanya aku tak bisa memicingkan mata walaupun sekejab. Yang pada akhirnya menuntun langkahku menikmati kerlip malam dari balkon. Binar mata, senyum yang malu-malu dan wajah yang memerah saat ia berlari masuk kamar setelah mendorong tubuhku pelan. Semuanya terus saja berputar di kepala.

Tak salah lagi. Rasa itu memang ada. Entah sejak kapan ia bersemayam. Yang pasti malam ini pesonanya nyaris membuatku gila.

Rania.

Wanita muda dengan satu anak. Berbagai perasaan berkecamuk saat mendapati kenyataan ini. Tak pernah terpikir kalau gadis yang terlihat ceria bahkan cenderung berani punya beban hidup yang demikian besar.

Mendedikasikan diri demi anak semata wayang di tengah kerasnya kehidupan ibukota pasti tidak mudah.
Tapi Rania mampu melewati. Untuk gadis seusianya, ia luar biasa.

Kekaguman akan sosok yang pada awalnya membuat jengkel itu makin menguat. Niat hanya untuk memberinya pelajaran bagaimana harusnya bersikap terhadap atasan malah menjadi titik balik.

Kemana sikap cuek dan masa bodohku selama ini? Bukankah seorang Matheo hanya terlahir untuk dikejar? Entah berapa banyak gadis yang patah hati walau aku tidak sengaja melakukannya.

Dan sekarang ...?

Aku kembali menyalakan pemantik api. Membakar ujung candu nikotin yang entah untuk ke berapa batang. Perlahan mengisap dan mengeluarkannya membentuk bulatan kecil di udara. Antara terlihat dan tidak di bawah cahaya lampu balkon yang temaram.

Dinginnya udara malam mulai terasa menusuk ke tulang sumsum. Aku melirik jam yang melingkari pergelangan tangan. Pukul 3 dini hari.
Kantuk mulai menghampiri.

Setelah mematikan rokok yang masih tersisa dua pertiga batang, aku melangkah masuk kamar. Menutup rapat pintu balkon. Lalu mengempaskan tubuh di ranjang. Mungkin karena kelelahan, tak butuh lama bagiku untuk terlelap.

***

"Maaf, gue tertidur lagi," desisnya pelan. Sama sekali tak berani menatap wajahku.

"Gue hanya mau memastikan lo baik-baik saja," sahutku datar.

Mata indah itu mengerjap, menyesuaikan dengan sinar matahari pagi yang menyusup dari balik gorden. Ia membuang muka dengan wajah memerah saat menyadari aku menatapnya intens.

Rania (Mendadak Romantis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang