Bagian 12

1.2K 118 6
                                    


    Gud! Lengkap sudah penderitaanku. Akibat berendam malam-malam dan juga memaksakan diri bekerja, akhirnya aku pun terkapar. Menikmati kesendirian, meringkuk di ruangan yang beraroma obat-obatan.

Aku ambruk tepat saat menginjakkan kaki di teras kontrakan. Beruntung ada beberapa tetangga yang tengah berbincang di pojok halaman depan.

Di tempat itu sengaja dibangun pos keamanan yang tak jarang pada siang hari beralih fungsi menjadi tempat ngerumpinya ibu-ibu muda sambil momong anak mereka masing-masing.

Seruan serentak dari mereka lapat terdengar di telinga sebelum semuanya berubah menjadi gelap.

Pada saat terbangun aku telah berada di rumah sakit. Di sisiku terlihat Mbak Indah tengah menemani.

"Kenapa sih kamu memaksakan diri kerja kalau memang lagi sakit? Mana nggak ngomong lagi." ujarnya menyesali.

Aku hanya menanggapi dengan senyum tipis.

"Untung pingsannya nggak di jalan," lanjutnya.

"Anak-anak mana, Mbak?" tanyaku mengalihkan setelah mengedar pandangan. Dua gadis kecil itu tak terlihat batang hidungnya.

"Aku titipkan ke Mbak Tami. Nah, karena kamu sudah siuman, aku tinggal ya? Maaf nggak bisa nemani karena Mas Arman juga nggak ada. Kasihan anak-anak," ujarnya.

"Mas Arman ke mana?"

"Kebetulan tadi sore dijemput bos nya. Mereka ada proyek di luar kota."

"Ooh."

Hanya kata itu yang keluar. Jujur aku benci dengan suasana ini. Aku nggak suka aroma obat-obatan di rumah sakit. Bakal sendirian pula. Terasa benar di dunia ini tidak punya siapa-siapa.

Ingin menahan Mbak Indah, tapi bagaimana nasib dua gadis kecil yang salah seorang adalah putriku sendiri? Dengan ia bersedia mengurus Vivian layaknya anak mereka, itu sudah merupakan suatu keberuntungan.

"Tak apa kan?" tanya Mbak Indah.

"Aku ikutan pulang aja."

"Belum boleh, Ran. Barusan dokter bilang, minimal kamu dirawat untuk dua hari."

"Tapi Mbak ...."

"Jangan ngeyel Rania."

"Mbak ... aku udah baikan."

"Dokter lebih tau kondisimu."

Aku terdiam. Percuma saja berdebat. Dalam hal-hal tertentu Mbak Indah keras kepala. Dan ia nggak suka dibantah.

Setelah diperiksa dokter dan Mbak Indah memastikan semua yang aku butuhkan sudah ada, wanita itu pun pamit.

"Besok pagi-pagi sekali aku akan ke sini. Nanti kalau butuh apa-apa kamu panggil suster aja," pesannya.

Aku mengangguk.

"Terima kasih, Mbak. Kapan ya aku nggak ngerepotin Mbak Indah?" ujarku tersenyum kecil. Miris.

"Kamu ngomong apa sih? Udah ah. Mbak pamit."

Belum sempat aku menjawab, ia telah melangkah menjauh. Yang kulakukan hanya menatap punggung kecil tapi perkasa itu. Ia wonder woman menurutku. Wanita baik yang Allah takdirkan jadi saudara saat tak ada yang peduli padaku.

***

       Berada di sini hanya akan kembali mengingatkan tentang peristiwa yang terjadi beberapa tahun silam. Saat Rio mengembus napas terakhir di pangkuanku.

"Rio, buka mata lo. Jangan diam aja! Lo bilang bakal jaga gue. Lo bilang kita akan bersama walau apa pun yang terjadi. Tapi sekarang lo malah pergi. Lo boongin gue. Riooo ... bangun!!"

Rania (Mendadak Romantis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang