Bagian 13

4.1K 258 10
                                    


Matheo PoV

        Kendaraan yang bergerak merayap terlihat seperti mainan anak-anak. Emang pada saat jam pulang kantor seperti ini Jakarta macetnya enggak ketulungan. Berbagai jenis kendaraan berjubel saling ingin mendahului diiringi sumpah serapah para pengendara yang kadang tidak sabaran.

Itu jugalah yang menjadi salah satu alasan kenapa aku malas pulang pada jam-jam seperti ini. Aku terbiasa memanfaatkan waktu menunggu dengan memeriksa ulang file para karyawan. Atau sekedar main games.

Namun kebiasaan itu mulai berubah sejak beberapa hari. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan menatap keluar gedung dari balik dinding kaca. Seperti yang tengah kulakukan sekarang.

Aku galau. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan si cempreng Rania? Gadis itu berhasil mengacaukan hati dan hariku. Kenapa ia terkesan menghindar? Untuk pertama kali dalam hidup aku merasa diabaikan.

Sudah lebih dari setengah jam aku berdiri di sini dengan kedua tangan masuk ke kantong celana. Bukan pemandangan di bawah yang membuatku tertarik. Tetapi pikiran akan keberadaan gadis itu.

Untuk kesekian kalinya ia tidak bisa dihubungi. Maksudnya apa coba? Sikapnya yang berubah drastis sejak meninggalkan rumah tanpa pamit sungguh mengganggu. Aku seperti kehilangan sosok Rania yang ceria, slengean dan ceplas-ceplos apa adanya. Sikap seenaknya yang justru membuatku terkesan.

Rania gadis yang berbeda.

Telepon kabel yang tergeletak di meja kerjaku berdering. Dengan setengah malas-malasan aku melangkah ke sana.

"Selamat sore." Aku menyapa begitu panggilan tersambung.

"Sore, Pak Boss."

"Lo ...? Kenapa nggak nelpon ke ponsel?" tanyaku begitu tau siapa yang berada di ujung sana.

Bukannya apa, telepon ini paralel ke beberapa ruangan. Dan biasanya hanya digunakan untuk kepentingan pekerjaan.

Sementara kuyakin si penelpon membawa kabar yang nggak ada sangkut pautnya dengan urusan kantor. Ia orang suruhan yang ditugaskan mencari informasi tentang Rania.

"Ponsel Pak Boss nggak bisa dihubungi," sahutnya.

"Bentar. Saya coba cek."

Ternyata ponselku mati. Aku lupa menyalakan kembali setelah tadi sengaja dimatikan pada saat meeting.

Setelah menunggu beberapa saat sampai akhirnya ponsel menyala dengan sempurna, aku kembali menghubungi orang suruhan itu.

"Bagaimana?" tanyaku tak sabaran begitu ponsel tersambung.

Lalu mendengarkan dengan seksama setiap detail info yang ia paparkan.

Jadi gadis itu sakit? Pantas ia terlihat begitu lesu saat terakhir bertemu di kafe malam itu.

"Tak ada yang tau kan kalau lo tengah mengamatinya?"

"Aman, Pak Boss."

"Oke. Thanks."

Aku menutup panggilan telepon. Lantas menarik napas panjang. Lega, tapi juga khawatir akan kondisi gadis itu.

***

        Dengan langkah cepat aku menyusuri koridor rumah sakit. Rasanya tak sabar ingin melihat wajah nyebelin sekaligus ngangenin itu.

Bisa juga ia terkapar.

Apa karena aku yang datang tidak pada jam besuk, karidor terlihat sepi. Hanya ada satu dua orang yang berpapasan. Sepertinya keluarga pasien.

Berdasarkan info yang aku dapat, Rania dirawat di ruang kenanga. Beberapa langkah lagi aku mencapai pintu yang dituju, tiba-tiba ....

Rania (Mendadak Romantis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang