SEMU(6)

5.8K 220 25
                                    


(Mohon kesadaranya yang belum 21+ untuk skip cerita ini)

Seminggu berlalu nyaris tanpa kendala yang berarti. Semua berjalan baik, setidaknya buatku yang sedang tergila-gila dengan pria beristri ini. Hanung pun masih dengan sikap yang sanggup meluluh lantakkan hatiku. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada didekap oleh seorang Hanung. Walau entah sampai kapan aku hanya bisa didekap dalam diam seperti ini. Setidaknya aku mencoba bertahan.

Indah selalu menghindariku di kantor sedapat mungkin. Aku sebenarnya tidak ingin ada jarak antara aku dan Indah, namun sepertinya Indah memutuskan menjauhiku setelah perdebatan singkat di ruanganku. Aku tidak masalah. Aku tidak membenci Indah karena sebenernya maksudnya baik. Tapi untuk saat ini aku belum bisa melepaskan Hanung. Dan sepertinya tidak akan pernah bisa. Aku selalu melihat mata Indah menatapku penuh iba, tapi saat akan kusapa dia selalu menghindar secepat mungkin.

Jam menunjukkan pukul 14.30, handphone yang tergeletak di meja berdering. Aku buka pesan whatsapp di bagian atas layar.

"Rin, nanti tunggu aku di depan apotek Pelita Asri ya, kita makan bakso di Bakso president saja. Aku sudah lama tidak makan disana"

"Iya, Mas. Siap."

Hari ini kita memang janjian buat makan diluar karena ini hari Jumat. Sabtu sampai Minggu memang Hanung milik istri dan anaknya, walau awalnya aku tidak setuju dengan perjanjian ini. Dia tidak bisa beralasan lembur diakhir pekan karena memang kantor biasanya tidak mengadakan lembur akhir pekan kalau tidak sangat mendesak. Lagi-lagi aku yang harus mengalah. Berbagi hati memang tidak mudah. Terlebih dengan posisiku sebagai pacar gelap Hanung. Semuanya terasa menyakitkan tapi akan lebih baik saat Hanung berada di dekatku.

Aku melangkahkan kaki ke luar ruangan setelah kupoleskan lipstik berwarna burgundy ini tipis-tipis di bibirku. Bedak yang sudah agak luntur, aku ratakan kembali. Aku berjalan kaki ke apotek Pelita Asri yang jaraknya hanya 5 menit dari kantor kami. Mendung hanya menggantung saja di atas sana, seakan mencemooh hubunganku dengan Hanung yang masih abu-abu.

Aku menunggu Hanung di teras apotek Pelita Asri. Memperhatikan penghitung detik yang menempel tinggi pada lampu merah di sebelah pos polisi. Semua orang mengantri menunggu kapan detik itu merubah warna menjadi hijau. Tidak ada yang memperhatikan bahwa di sini ada seorang perempuan yang tengah merenungi sebuah jalan sulit yang dia pilih. Menyambut hati Hanung ternyata tidak semudah menyambut hati laki-laki yang telah banyak mengisi hatiku. Rasa pahit dan manis yang bagai rollor coaster selalu mengejutkan tanpa aba-aba.

Aku terkejut ketika lampunya berwarna hijau. Handphone yang berada ditangan bergetar keras.

"Ya, Mas." Kataku agak keras, menghindari bunyi klakson yang saling sahut karena mobil box di barisan depan tidak cepat berjalan.

"Aku di depan Indomart. Kau kesini ya. Ada polisi disana. Bisa ditilang aku kalau berhenti disitu."

"Ya, aku jalan," kataku sambil menutup pembicaraan.

Aku melihat mobil berwarna hitam itu. Aku membuka pintu samping dan melihat Hanung tersenyum sangat hangat. Ku balas senyumnya dan duduk disebelahnya. Hanung mencondongkan tubuhnya dan memeluk serta mencium keningku.

"Ah akhirnya aku bisa memelukmu. Aku suka baumu, sayang," kata Hanung di leherku. Nafasnya sangat hangat.

"Apa sih, Mas. Bauku asem, belum mandi apalagi tadi habis keluar kantor."

"Siapa bilang? Bau asem ini yang ngangenin tahu, Rin," sanggahnya sambil melepaskan pelukannya dan menatapku. Aku dibuat salah tingkah oleh sikapnya lagi.

"Apaan sih, ayo jalan, aku sangat lapar." ajakku untuk mengalihkan pembicaraan ini.

"Baik, nyonya Hanung Prambudi," dia mengerlingkan mata dan aku mencubit lengannya. Dia tertawa sambil memundurkan mobilnya.

SEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang