SEMU (8)

6.2K 261 61
                                    


(Dimohon kesadarannya yang belum 21+ untuk skip cerita ini)

"Mas, aku hamil. Bagaimana ini?" Seorang wanita berkata panik sambil memegangi piayama laki-laki di depannya. Laki-laki itu terkejut tak percaya.

"Kau hamil? Jangan ngawur kau," desis lelaki itu dengan sedikit penekanan ditiap katanya. Wanita itu merogoh kantong piayamanya. Dia mengeluarkan sebuah benda pipih berwarna biru putih. Dia mengulurkan benda itu dan laki-laki setengah baya merenggutnya tidak sabar. Laki-laki berpiyama itu mengamati alat tes kehamilan ditangannya beberapa saat sebelum dia melemparkan ke muka Tina. Tina melompat dan menatap laki-laki dihadapannya. 

"Kamu tidak hanya bercinta denganku. Pasti," bisiknya.

"Apa maksudnya? Kau pikir aku perempuan macam apa?" Ucap Tina mendelik.

"Kau pikir aku tidak tahu tingkah anak kuliahan jaman sekarang? Bisa saja kau bercinta dengan teman kuliahmu yang suka mengantarkanmu pulang itu." Tina sudah berurai air mata. 

"Mana mungkin, Hanung hanya temanku. Aku hanya melakukannya denganmu. Bahkan kau yang menikmati keperawananku." Tina membela diri.

"Bisa saja kan kau melakukannya dengan orang lain setelahku, siapa sih yang tidak ketagihan bercinta setelah tahu rasanya?" Laki-laki ini tetap melakukan penolakan.

"Dasar kau lelaki bejat!" 

"Kau gugurkan saja, nanti aku berikan uangnya, carilah dokter yang bisa melakukannya," lanjut laki-laki itu tanpa perasaan dan berlalu meninggalkan Tina dalam tangis juga sesal yang teramat sangat. 

########

Aku terkejut saat melihat seorang wanita mengenakan celana jeans, berkaos biru berdiri di depan pintu kost. Rambutnya panjang terurai lurus. Matanya agak kehitaman dan bengkak. Entah apa yang dilewatinya malam ini, yang jelas aku tahu dia telah menghabiskan malam ditemani air mata. Matanya sayu menunjukkan suatu kegundahan. Dia menatapku nanar. Aku hanya diam tak bisa bergerak, tanganku masih menempel digagang pintu yang baru setengah terbuka. Asap rokok dari pinggir asbak menari dengan liukan tinggi bagai penari yang menggoda setiap penontonya dengan sedikit bau pengar arak.

"Tina sedang apa kau disini?" 

Perempuan dihadapanku menaikkan keningnya dan mulai berjongkok. Aku mengulurkan kedua tangan ingin mencegahnya tapi gerakan Tina lebih cepat. Kulongokkan kepala kekanan dan kekiri takut ada orang yang melihat drama entah apa ini. Tina mulai terisak. Aku mendekatinya dengan bertelanjang kaki. Aku berjongkok di sampingnya. 

"Kau kenapa menangis di sini? Dimana anakmu?" Hening.

"Kau mau masuk? Aku malu dilihat teman-temanku, nanti mereka berpikiran yang tidak-tidak," kuelus punggung Tina. Dia mendongakkan kepala dan memandangku. Matanya berurai air mata. Beban dari sorot mata itu seakan sudah menumpuk beribu tahun. 

Lengannya aku tarik keatas dan dia menurut. Kami masuk ke kamar dan kukunci pintunya. "Setidaknya aman tidak ada yang akan mendengar pertengkaran kami, kalaupun itu harus terjadi," aku membatin. 

Tina duduk di kursi dengan aku disebelahnya. Kuberikan segelas besar air putih dari dispenser di pojok kamar. Dia meminum air itu sekali teguk. 

"Mau aku ambilkan lagi?" Kataku seraya beranjak dari kursi. Dia menarik lenganku, membuatku terduduk kembali. 

"Hanung sudah mernceritakan semuanya," dia bersuara lirih sambil melepaskan tangannya dari lenganku. Hampir saja gelas ditanganku lepas. Hati ini berdebar keras, bukan karena rasa cinta tapi karena rasa yang aku saja tak bisa jelaskan.

SEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang